Penulis: Alfirqan Anshari, S.KM., MPH.
Waktu itu, matahari sudah cukup tinggi saat saya tiba di posyandu kecil di sebuah desa apung, Sulawesi Tenggara. Tanpa meja, tim posyandu berjajar seadanya sesuai dengan urutan tugasnya masing-masing. Beberapa ibu duduk di atas papan, menggendong anak-anak mereka yang tampak kurus, sebagian tampak malu-malu, dan sebagian lagi tampak kelelahan.
Photo by alfha.project | https://www.instagram.com/p/BxWSvgWjdm3/
Saya datang sebagai bagian dari tim pengabdian. Tujuannya sederhana: edukasi kesehatan, khususnya mengenai tumbuh kembang anak. Tapi yang saya temui hari itu justru mengubah cara pandang saya tentang stunting. Seorang balita menarik perhatian saya, usianya baru menginjak 3 bulan. Tubuhnya menunjukkan gejala gizi buruk, dengan ulu hati yang tenggelang (cekung). Saya sempat berpikir, “Apakah ibunya tidak memberi ASI yang cukup?” Tetapi begitu saya mendengar ceritanya, saya merasa perlu minta maaf dalam hati.
Ibunya muda, pendiam, lulusan SD bercerita bahwa dia terbiasa memberi anaknya dengan susu kental manis karena “sibuk bekerja dan terkadang ASI tidak keluar”. Suaminya bekerja sebagai nelayan, dan dalam seminggu hanya beberapa hari bisa bawa pulang uang. Rumah mereka pun jauh dari puskesmas, dan anak itu belum pernah ditimbang dan ditangani oleh tenaga Kesehatan sejak lahir. Lahiran pun dibantu oleh dukun beranak yang ada di desa tersebut. Sementara, usia anak tersebut merupakan usia emas yang perlu mendapat perhatian khusus, karena anak berisiko mengalami stunting jika kekurangan gizi khususnya di usia 1000 hari pertama terhitung sejak dari dalam kandungan hingga berusia 2 tahun.
Saat itulah saya sadar, stunting bukan sekedar kurang makan. Ini soal kemiskinan, pendidikan, akses, dan keadilan.
Pelajaran dari Lapangan
Banyak dari kita berpikir stunting cukup dicegah dengan edukasi gizi dan makanan tambahan. Tapi, bagaimana jika ibunya tidak bisa membaca? Bagaimana jika akses menuju ke puskesmas sulit? Bagaimana jika sanitasi rumah tangga mereka menyebabkan anak-anak terus terkena diare dan cacingan?
Photo by alfha.project | https://www.instagram.com/p/CCijlSAD26B/
Di tempat-tempat seperti inilah stunting menjadi wajah dari ketimpangan sosial. Seakan anak-anak ini lahir dalam garis awal yang sudah tertinggal, hanya karena mereka tinggal di daerah sangat tepencil perbatasan dan kepulauan.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Saya tidak membawa solusi besar waktu itu. Tapi saya mulai mendengarkan. Duduk di antara ibu-ibu itu, saya tidak hanya bicara soal makanan, tapi juga soal bagaimana menjaga kebersihan air, pentingnya mencuci tangan, dan cara membuat makanan bergizi dari bahan lokal murah yang sudah mereka punya.
Kami belajar bersama, tertawa bersama, dan di akhir sesi, saya sadar: perubahan tidak selalu datang dari kotak bantuan, tapi dari rasa saling percaya dan kerja sama.
Photo by alfha.project | https://www.instagram.com/p/CCVZQjIjQkZ/
Stunting adalah Cerita Kita Semua
Foto hari itu saya dan anak-anak yang riang gembira selalu mengingatkan saya: di balik setiap angka statistik stunting, ada wajah, ada cerita, dan ada harapan. Mencegah stunting bukan hanya tugas ahli gizi atau petugas kesehatan. Ini adalah urusan kita semua — untuk memastikan bahwa setiap anak, di manapun mereka lahir, punya kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan bermimpi.
Editor: Gilang Ananda, S.Kom