Idul Adha di Tengah Krisis Empati

Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.

Idul Adha bukan sekadar momentum tahunan umat Islam untuk menyembelih hewan kurban. Ia adalah panggilan spiritual yang mengandung pesan kemanusiaan universal tentang pengorbanan, solidaritas, dan empati terhadap sesama. Namun, ketika Idul Adha tiba di tengah derasnya arus individualisme dan ketimpangan sosial yang akut, kita dihadapkan pada pertanyaan: masihkah semangat pengorbanan itu hidup dalam denyut kehidupan kita hari ini?

Al-Qur’an mencatat kisah monumental ketika Nabi Ibrahim diperintahkan menyembelih putranya Ismail, dan ia dengan taat bersiap melaksanakannya. Namun Allah menggantinya dengan hewan sembelihan, seraya menyatakan: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata” (QS. Ash-Shaffat: 106). Tafsir dari banyak ulama menyebutkan bahwa inti kurban bukanlah darah dan daging yang mengalir, melainkan takwa dan kerelaan menanggalkan hal paling kita cintai sebagaimana firman Allah: “Daging dan darah hewan kurban itu tidak akan sampai kepada Allah, tetapi ketakwaanmulah yang sampai kepada-Nya” (QS. Al-Hajj: 37).

Sumber: chatgpt

Namun hari-hari ini, kita menyaksikan ironi yang menyesakkan. Di satu sisi, masjid-masjid ramai menyiapkan prosesi kurban dengan dana yang besar dan logistik yang kompleks. Di sisi lain, masyarakat di lereng tambang yang rusak, di bantaran sungai yang tercemar, dan di pemukiman yang terpinggirkan masih bergelut dengan kemiskinan dan kehilangan ruang hidup. Kurban menjadi seremoni yang agung, tetapi apakah ia juga menjadi jalan penyadaran sosial yang menyentuh akar penderitaan kaum lemah?

Jika kurban adalah peringatan terhadap kisah Nabi Ibrahim dan Ismail sebuah pengorbanan suci yang tidak bersifat simbolik semata maka ia semestinya menjadi refleksi atas kesediaan kita untuk meninggalkan egoisme, kerakusan, dan kemewahan yang dibangun di atas penderitaan orang lain. Tapi dalam praktik sosial kita, semangat itu tereduksi menjadi formalitas. Kurban menjadi ritual, bukan lagi revolusi batin.

Idul Adha hari ini seharusnya mengajak kita bertanya: apa yang bisa kita “korbankan” untuk keadilan? Bisakah para pejabat menahan nafsu korupsi demi masa depan anak-anak miskin di pelosok negeri? Bisakah korporasi menahan diri dari eksploitasi alam demi kelestarian lingkungan? Bisakah kita, sebagai warga negara, melepaskan fanatisme kelompok demi kemanusiaan yang lebih luas?

Dalam konteks Indonesia yang masih diwarnai krisis empati sosial, mulai dari intoleransi, ujaran kebencian, kekerasan berbasis identitas, hingga kesenjangan ekonomi semangat Idul Adha perlu dibaca ulang. Pengorbanan bukan hanya soal hewan ternak, tetapi tentang keberanian melepaskan kepentingan diri untuk kemaslahatan publik. Dan ini adalah pengorbanan yang jauh lebih sulit.

Sumber: chatgpt

Kita membutuhkan Idul Adha yang membumi. Idul Adha yang tidak hanya hadir di mimbar khutbah dan gemuruh takbir, tetapi juga di kebijakan publik, di ruang peradilan, di kebun tambang yang rusak, di perkampungan kumuh, dan di sela-sela derita rakyat kecil yang terabaikan.

Jika hukum adalah alat menegakkan keadilan, maka kurban adalah cermin moralitas yang seharusnya menjiwai hukum. Dalam pandangan hukum Islam, pengorbanan adalah bentuk ‘ubudiyah’ dan ‘tadabbur’ kesadaran akan keterbatasan manusia dan keharusan tunduk pada prinsip-prinsip keadilan ilahiah. Imam Al-Ghazali menyebut bahwa keadilan adalah mizan (timbangan), dan siapa yang melanggar timbangan, sesungguhnya telah berbuat zalim terhadap amanah Tuhan.

Lebih dari sekadar mengenang masa lalu, Idul Adha seharusnya menginspirasi langkah masa depan bahwa bangsa ini butuh lebih banyak “Ibrahim”, yang rela menanggalkan ego dan kekuasaan demi prinsip kebenaran. Kita butuh lebih banyak “Ismail”, generasi muda yang siap menanggung beban perubahan tanpa kehilangan harapan.

Mari rayakan Idul Adha bukan hanya dengan menyembelih kambing dan sapi, tetapi juga dengan menyembelih keserakahan, kemunafikan, dan ketidakpedulian yang diam-diam menjelma menjadi berhala di zaman ini.

Editor: Ambar Wulan S.T

Referensi:

  1. Departemen Agama RI. (2005). Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Kementerian Agama RI. [Versi digital tersedia di: https://quran.kemenag.go.id/]
  2. Al-Ghazali, Abu Hamid. (2001). Ihya’ ‘Ulumuddin (Vol. 4). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah.
  3. Fakhruddin al-Razi. (2000). Tafsir al-Kabir [Mafatih al-Ghayb]. Beirut: Dar Ihya’ al-Turats al-‘Arabi. (Tafsir ayat QS. Ash-Shaffat: 102–107 dan QS. Al-Hajj: 37).
  4. Nasr, Seyyed Hossein. (2006). The Heart of Islam: Enduring Values for Humanity. New York: HarperOne.
  5. Wahid, Abdurrahman. (2001). Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: The Wahid Institute.
Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri