Penulis: Ninne Zahara Silviani, S.H., M.H.
Geopark Raja Ampat merupakan salah satu dari tujuh Marine Geopark di Indonesia yang menunjukkan model pengelolaan kolaboratif antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan berbagai aktor non-negara, termasuk organisasi non-pemerintah (NGO). Keindahan alamnya yang luar biasa menjadikan kawasan ini diakui sebagai salah satu warisan dunia yang berada dalam cakupan UNESCO Convention 2001, dan menjadi destinasi wisata bahari premium yang menarik wisatawan internasional, meskipun dengan biaya yang relatif tinggi. (Adiyanto, Silviani, 2025).
Sumber: chatgpt
Sayangnya, kawasan ini kini menghadapi ancaman serius dari aktivitas industri yang mengklaim dirinya sebagai bagian dari transisi energi bersih yakni industri pertambangan nikel. Nikel saat ini menjadi komoditas unggulan dalam pengembangan baterai kendaraan listrik dan tengah diburu oleh banyak negara sebagai bagian dari strategi global mengurangi emisi karbon dari bahan bakar fosil. Fenomena ini tidak hanya mendorong eksploitasi nikel di wilayah darat, tetapi juga meningkatkan minat terhadap potensi pertambangan di wilayah The Area, zona laut internasional yang dilindungi sebagai Common Heritage of Mankind sesuai dengan UNCLOS.
Dari sudut pandang hukum laut, kawasan geopark memiliki perlindungan berdasarkan United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) serta peraturan nasional. Namun, pertambangan nikel yang dilakukan di wilayah darat, dan bukan secara langsung di perairan, telah dijadikan dalih oleh pemerintah dan pelaku industri untuk mengabaikan dampak ekologisnya terhadap lingkungan laut Raja Ampat. Padahal, dalam kerangka ekosistem pesisir dan laut yang saling terhubung, aktivitas eksploitasi di daratan berpotensi besar merusak habitat laut yang dilindungi, serta mengancam integritas geopark sebagai kawasan konservasi dan warisan bersama umat manusia. Sedangkan, Pasal 192 UNCLOS tentang General Obligation Part XII: Protection and Preservation of The Marine Environment juga menjadi panduan utama yang menyatakan bahwa “States have the obligation to protect and preserve the marine environment.” Pasal ini menegaskan kewajiban negara untuk menjaga dan melindungi lingkungan laut, yang meliputi tindakan preventif untuk menghindari pencemaran dan kerusakan ekosistem laut
Dalam UNESCO Convention, Pasal 5 menggaris bawahi pentingnya pendidikan dan kesadaran masyarakat tentang pelestarian warisan budaya bawah air. Hal ini mendukung pengelolaan Geopark secara holistik, karena masyarakat lokal dan pengunjung dapat memahami nilai budaya, sejarah, dan ekologinya. Selain itu, Pasal 7 menegaskan bahwa perlindungan warisan bawah air harus dilakukan sesuai dengan hukum internasional, termasuk kepatuhan terhadap prinsip-prinsip UNCLOS. Dengan demikian, konvensi ini menjadi dasar hukum untuk memastikan bahwa Marine Geopark tidak hanya melindungi keanekaragaman hayati dan fitur geologis, tetapi juga warisan budaya bawah air yang menjadi bagian penting dari identitas sejarah manusia.
Dalam prinsip kehati-hatian (precautionary principle) yang diakui dalam berbagai perjanjian internasional, negara wajib mengambil tindakan preventif bahkan ketika bukti ilmiah belum sepenuhnya konklusif terkait dampak suatu kegiatan terhadap lingkungan laut, apalagi kegiatan penambangan. Ironisnya, meskipun pembangunan industri smelter untuk pengolahan setengah jadi bijih nikel kerap diklaim sebagai bagian dari kampanye Green Industry dan Green Mobility (Coaction Indonesia,2025), kenyataannya proses ekstraksi dan pengolahan nikel ini justru menimbulkan kerusakan ekologis, khususnya terhadap lingkungan pesisir dan laut di sekitar Raja Ampat. Aktivitas pertambangan yang dilakukan di wilayah daratan nyatanya berkontribusi pada sedimentasi, degradasi ekosistem terumbu karang, serta pencemaran perairan akibat limbah tambang. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang konsistensi antara narasi energi hijau dan praktik industrinya: apakah Green Mobility benar-benar memperhatikan keberlanjutan lingkungan, atau sekadar menjadi kedok bagi eksploitasi sumber daya alam baru?
Sumber: chatgpt
Pemerintah Indonesia memang telah mencabut beberapa izin usaha pertambangan di Raja Ampat, termasuk milik PT Anugerah Surya Pacific Resources (ASPR), PT Indo Asia Resources, dan PT Megantara Raya, setelah mencuatnya kritik publik dan viralnya konten digital yang menyoroti kerusakan kawasan konservasi tersebut (ESDM, 2025)). Namun, pencabutan izin semata belum cukup; dibutuhkan pengawasan berkelanjutan dan evaluasi menyeluruh terhadap dampak lingkungan yang sudah terjadi. Terlebih, implementasi prinsip-prinsip hukum internasional seperti Pasal 192 UNCLOS 1982 dan Pasal 7 UNESCO Convention 2001 menuntut negara untuk bertindak proaktif dalam mencegah degradasi lingkungan laut dan menjaga integritas warisan dunia. Oleh karena itu, pelibatan masyarakat adat, organisasi masyarakat sipil, serta pemantauan oleh komunitas internasional menjadi kunci dalam memastikan bahwa kawasan konservasi laut seperti Geopark Raja Ampat tetap lestari dan terhindar dari praktik industri yang tidak bertanggung jawab.
Editor: Ambar Wulan S.T
Referensi:
- https://coaction.id/hilirisasi-nikel-perlu-transformasi-menuju-industri-hijau-bila-ingin-ciptakan-green-jobs/
- https://www.esdm.go.id/id/media-center/arsip-berita/pemerintah-cabut-empat-izin-perusahaan-tambang-di-raja-ampat
- Adiyanto, A., Silviani, N. Z., & Rusdiana, S. (2025). Perbandingan Peran Pemerintah Daerah Pada Pembangunan Berkelanjutan Tujuan 14 SDGs pada Marine Geopark di Kepulauan Riau dan Papua Barat. JURNAL USM LAW REVIEW, 8(1), 332-356. https://doi.org/10.26623/julr.v8i1.11526
- United Nations Convention on the Law of The Sea 1982
- UNESCO Convention 2001