Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H
Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto baru-baru ini mengambil langkah dramatis dengan menaikkan gaji hakim hingga 280 persen melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2024. Angka ini bukan sekadar angka. Kebijakan ini mencerminkan ambisi membangun peradilan yang bersih, memperkuat integritas hakim, meningkatkan kemandirian lembaga peradilan, serta menekan godaan suap yang selama ini menjadi momok dunia kehakiman Indonesia.
Sumber: ChatGPT
Secara normatif, logika di balik kebijakan ini patut diapresiasi. Namun, di tengah badai kemiskinan, daya beli yang melemah, dan gelombang PHK di banyak sektor, kebijakan ini tampak kontras dan mengusik nalar keadilan sosial.
Di luar gedung Mahkamah Agung yang megah, jutaan rakyat Indonesia masih berjuang memenuhi kebutuhan harian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, pada 2024, jumlah penduduk miskin meningkat menjadi 26,3 juta jiwa, seiring tekanan harga bahan pokok dan pemutusan hubungan kerja massal pasca pandemi. Di saat rakyat antre bansos dan UMKM kesulitan akses modal, hakim menikmati gaji yang melompat tiga kali lipat.
Kebijakan ini secara teori merujuk pada efficiency wage, gagasan dari ekonom Carl Shapiro dan Joseph Stiglitz (1984), yang menyatakan bahwa gaji tinggi dapat meningkatkan produktivitas dan menekan perilaku menyimpang. Dalam konteks birokrasi, semakin besar gaji, semakin tinggi biaya sosial bagi pegawai jika melakukan korupsi dan kehilangan jabatan. Tapi, benarkah teori ini cocok diterapkan dalam konteks peradilan Indonesia yang sarat persoalan integritas?
Budaya Korupsi dalam Lembaga yang Sakral
Fakta empiris berkata sebaliknya. Sejak 2010 hingga 2025, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menangani 31 kasus korupsi yang melibatkan hakim. Ditambah 8 kasus lainnya oleh Kejaksaan Agung sepanjang 2024-2025, total ada 39 hakim yang terjerat. Ironisnya, sebagian besar adalah hakim senior, bukan mereka yang gajinya minim.
Sebut saja Sudrajad Dimyati misalnya, mantan Hakim Agung yang ditangkap KPK pada 2022 karena menerima suap sekitar 800 juta dalam pengurusan perkara kasasi. Atau kasus Gazalba Saleh, hakim MA yang divonis 12 tahun penjara pada 2024 karena terbukti menerima gratifikasi dan mencuci uang senilai Rp62 miliar. Keduanya bukan hakim pemula yang hidup dalam kesulitan, melainkan pejabat tinggi yang telah menikmati gaji besar, fasilitas lengkap, dan kedudukan terhormat.
Sumber: ChatGPT
Kenyataan ini menggugurkan anggapan bahwa gaji tinggi otomatis melahirkan integritas. Karena di tengah sistem yang lemah dan budaya permisif, uang bukanlah jawaban atas masalah moral. Susan Rose-Ackerman (1999) dalam Corruption and Government menekankan bahwa korupsi lahir dari tiga faktor utama: opportunity (kesempatan), incentive (insentif), dan low probability of detection (rendahnya risiko tertangkap). Kenaikan gaji memang berpotensi menekan faktor insentif, tetapi selama peluang melakukan korupsi tetap tersedia, pengawasan masih lemah, dan proses akuntabilitas tidak transparan, korupsi tetap subur, tak peduli setinggi apa gaji hakim.
Bandingkan dengan Singapura. Di sana, hakim memang bergaji tinggi. Namun, yang lebih penting, pengawasannya ketat, proses seleksinya transparan, dan budaya intoleransi terhadap korupsi ditanam sejak dini. Inilah yang oleh Daniel Kaufmann dari World Bank disebut sebagai effective control of corruption (2003).
Di Indonesia, pengawasan internal seperti Komisi Yudisial tak punya taji. Rekomendasinya sering diabaikan oleh Mahkamah Agung. Laporan harta kekayaan (LHKPN) hanya formalitas. Pendidikan etika hukum hanya satu-dua hari di masa prajabatan. Bahkan sanksi terhadap pelanggaran etik kerap diselimuti kabut ketertutupan.
Lawrence M. Friedman menyebut perubahan hukum bukan sekadar regulasi, tapi juga kultur. Budaya hukum (legal culture) menentukan bagaimana aturan dipatuhi atau diselewengkan. Di tengah budaya patronase, kompromi, dan resistensi terhadap pengawasan, menaikkan gaji tanpa mereformasi mentalitas hanya akan melahirkan birokrasi yudisial yang lebih mahal, bukan lebih adil.
Dalam konteks ini, efficiency wage semata tidak cukup. Tanpa pembenahan budaya hukum dan sistem pengawasan ketat, kenaikan gaji justru dapat menimbulkan efek samping baru: lahirnya birokrasi yudisial yang semakin eksklusif namun tetap rawan penyimpangan.
Reformasi Integritas Hakim yang Menyeluruh
Apakah gaji tinggi salah? Tidak. Tapi menaruh harapan terlalu besar pada uang sebagai obat mujarab antikorupsi adalah kekeliruan. Agar kebijakan kenaikan gaji hakim benar-benar berdampak pada peningkatan integritas, ada sejumlah langkah reformasi yang tak bisa ditawar. Pertama, seleksi hakim harus berbasis integritas kepribadian, tidak sekadar penguasaan aspek akademis. Kedua, perlu penguatan Komisi Yudisial dengan kewenangan penyelidikan etik real-time dan independen. Ketiga, transparansi laporan kekayaan hakim yang dipublikasikan secara berkala dan dapat diakses publik. Keempat, diperlukan pendidikan etika hukum berkelanjutan yang ditanamkan sejak masa pra-jabatan. Dan Kelima, wajib menerapan sanksi etik dan pidana yang tegas, cepat, dan transparan.
Sumber: ChatGPT
Hari ini, rakyat menyaksikan gaji hakim melonjak di tengah dompet yang menipis. Rakyat bertanya-tanya “apakah keadilan memang butuh harga semahal ini?” Kenaikan gaji hakim hingga 280 persen memang layak diapresiasi sebagai pengakuan atas pentingnya peran hakim dalam menjaga tegaknya hukum. Namun, keadilan tidak lahir dari sekadar angka penghasilan. Ia tumbuh dari karakter pribadi, sistem pengawasan yang kokoh, serta budaya integritas yang tertanam kuat di tubuh peradilan.
Seperti kata Lord Acton “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely.” Kekuasaan peradilan yang besar hanya akan sehat bila terus disertai pengawasan yang sepadan. Sebab itu, kesejahteraan hakim hanyalah obat pendukung, bukan obat utama untuk menyembuhkan penyakit lama korupsi di dunia peradilan kita. Kesejahteraan adalah hak, tetapi integritas tidak bisa dibeli. Ia tumbuh dari keteladanan, transparansi, dan budaya malu yang kini nyaris hilang dari ruang peradilan kita.
Editor: Ambar Wulan S.T
Referensi:
- Economics Help. “Efficiency Wage Theory.” Economics Help, April 2024. https://www.economicshelp.org/blog/glossary/efficiency-wage-theory.
- Kompas.id. “Suap Hakim dan Krisis Etika Peradilan: 39 Hakim Terseret Korupsi dalam 15 Tahun.” Kompas.id, April 15, 2025. https://www.kompas.id/baca/english/2025/04/15/bribery-of-judges-reflection-of-systemic-crisis-in-the-judiciary.
- Badan Pusat Statistik. Persentase Penduduk Miskin September 2024 Turun Menjadi 8,57 Persen. Jakarta: BPS RI, January 2025. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/01/15/2401/persentase-penduduk-miskin-september-2024-turun-menjadi-8-57-persen-.html.
- Sulaksono, Anang. “Legal Culture Deconstruction in Indonesian Legal System.” IUS Positum: Jurnal Hukum, Vol. 2, no. 1 (2023): 12–23. https://journal.jfpublisher.com/index.php/jlte/article/view/227.
- World Bank. Worldwide Governance Indicators 2024: Control of Corruption. Washington, DC: World Bank, 2024. https://databank.worldbank.org/source/worldwide-governance-indicators.