Penulis: Anggia Azizah
Di tengah krisis iklim dan degradasi lingkungan yang kian parah, dunia kini berpaling pada teknologi sebagai penyelamat. Salah satu harapan terbesarnya adalah Artificial Intelligence (AI). Dari pemantauan hutan hujan hingga pemodelan iklim, AI mulai menjadi otak di balik banyak solusi lingkungan. Tapi, benarkah AI sebersih dan secerdas itu?
1. AI Mampu Mendeteksi Kerusakan Ekosistem Lebih Cepat dari Manusia
Salah satu kekuatan utama AI adalah kemampuannya dalam menganalisis big data secara real-time. AI digunakan dalam penginderaan jauh (remote sensing) untuk:
- Mendeteksi deforestasi dengan akurasi tinggi.
- Memantau migrasi satwa liar dari kamera jebak (camera trap).
- Mengidentifikasi spesies invasif dari gambar drone atau satelit.
Global Forest Watch AI untuk memberi peringatan dini soal penggundulan hutan di Amazon. Ini membuat respons terhadap kerusakan ekosistem lebih cepat dibanding metode manual.
AI digunakan untuk mendeteksi deforestasi melalui citra satelit dan drone dengan akurasi tinggi (Sumber: Ilustrasi pexel https://shorturl.at/XutbV)
2. Konservasi Satwa Liar Semakin Presisi Berkat AI
AI juga berperan besar dalam perlindungan spesies terancam. Dengan deep learning, sistem bisa mengenali suara, jejak, bahkan pola pergerakan hewan langka.
Di Afrika, misalnya, AI membantu anti-poaching unit dengan memprediksi lokasi perburuan liar berdasarkan pola historis. Ini bukan hanya menyelamatkan hewan tapi juga membantu memetakan daerah penting bagi konservasi.
AI menganalisis ribuan foto dari camera trap untuk mengenali dan menghitung populasi satwa liar secara otomatis (Sumber: Ilustrasi pexel https://shorturl.at/7JgrW)
3. Pertanian Berkelanjutan dengan AI: Dari Ramalan Iklim Sampai Minimalkan Limbah
Sektor agrikultur adalah penyumbang besar emisi karbon dan degradasi tanah. Tapi AI menawarkan pendekatan berbeda:
- Memperkirakan cuaca ekstrem dengan presisi.
- Mempersonalisasi sistem irigasi dan pemupukan agar efisien dan minim dampak lingkungan.
- Mengurangi limbah pertanian dengan algoritma prediksi panen.
Beberapa startup di Indonesia bahkan sudah mulai mengembangkan aplikasi AI untuk smart farming, terutama di sektor hortikultura dan kelapa sawit. Langkah ini potensial menyeimbangkan produktivitas dan keberlanjutan.
4. AI dalam Pemantauan Laut dan Ekosistem Air
Ekosistem perairan tak luput dari sentuhan AI. Teknologi ini digunakan untuk:
- Memantau kualitas air dan suhu laut.
- Mendeteksi perubahan pH yang bisa membahayakan terumbu karang.
- Menghitung populasi ikan melalui sonar dan citra bawah laut.
- Di Kepulauan Pasifik, AI bahkan digunakan untuk melacak polusi plastik laut secara otomatis. Ini bisa jadi game-changer untuk negara kepulauan seperti Indonesia.
5. Tapi… Apakah AI Itu Netral dan Ramah Lingkungan?
Di balik semua potensi itu, ada satu fakta yang jarang dibahas, AI bukan teknologi bebas emisi. Proses pelatihan model AI raksasa memerlukan energi besar, sebagian masih bersumber dari bahan bakar fosil. Menurut laporan MIT Technology Review (2022), pelatihan satu model besar AI seperti GPT-3 menghasilkan emisi karbon setara dengan penerbangan pulang-pergi antara New York dan San Francisco sebanyak 300 kali. Hal ini menunjukkan bahwa jejak karbon AI tidak bisa dianggap remeh, terutama jika penggunaannya tidak dibarengi dengan energi terbarukan.
Selain itu, algoritma bisa bias jika datanya tidak inklusif. Dalam konteks ekosistem, bias ini bisa membuat hasil konservasi tidak akurat, atau malah mengabaikan komunitas lokal yang selama ini menjaga alam secara tradisional.
6. Kolaborasi adalah Kunci: AI + Kearifan Lokal
AI seharusnya menjadi alat, bukan penguasa. Pendekatan keberlanjutan tidak bisa hanya mengandalkan teknologi tetapi juga perlu mengintegrasikan pengetahuan lokal, partisipasi masyarakat, dan pendekatan ekologis. Di banyak daerah, AI justru bisa memperkuat konservasi berbasis komunitas. Misalnya, warga lokal bisa membantu memverifikasi data AI atau memberikan insight yang tidak bisa dibaca mesin.
AI Bukan Jalan Pintas, Tapi Bisa Jadi Jalan Cerdas
Artificial Intelligence memang membuka lembaran baru dalam pelestarian alam. Tapi tanpa etika, inklusivitas, dan kehati-hatian, AI bisa menjadi alat yang mempercepat kerusakan daripada mencegahnya. Ke depan, tantangannya adalah bukan hanya bagaimana kita menggunakan AI, tapi bagaimana kita memanusiakan AI agar sejalan dengan nilai keberlanjutan. Karena menjaga bumi bukan soal seberapa canggih alat kita, tapi seberapa bijak kita menggunakannya.
Editor: Ambarwulan, S.T.