Penulis: Witri Winanda
Halo sahabat UIB…. Saat kita berpuasa pasti merasa lesu, lapar dan haus. Ternyata tubuh kita sedang melakukan sesuatu loh, yaitu melakukan proses daur ulang yang dikenal dengan autofagi. Sering juga kita mendengar bahwa puasa obat dari segala macam penyakit. Naah… Apa sih proses autofagi itu? Apa sih korelasi autofagi dengan puasa? Mari simak penjelasan berikut ya UIBers…
Autofagi?
Konsep autofagi semakin dikenal setelah Dr. Yoshinori Ohsumi meraih nobel kedokteran terkait self eating. Setiap hari sel-sel kita terus beregenerasi dan kemudian muncul sel-sel tua dan rusak. Tubuh kita memiliki sistem daur ulangnya sendiri yang oleh penemunya disebut dengan “autofagi”. Jika ditelaah dari asal katanya autofagi berasal dari dua kata, “auto artinya sendiri dan phagein yaitu makan. Secara makna autofagi merupakan mekanisme penyelamatan diri (cell survival) dengan menjaga sel-sel sehat dan mendaur ulang bagian sel-sel yang rusak sehingga dapat bermanfaat lagi oleh tubuh itu sendiri. Autofagi ini merupakan peristiwa di tingkat seluler yang mendaur ulang elemen sel-sel yang mengalami banyak masalah diantaranya bagian sel yang tidak fungsional, rusak dan menumpuk. Saat tubuh tidak mendapatkan makanan dalam jangka tertentu maka sel tersebut akan memasuki fase cleaning.
Gambar 1: Yoshinori Ohsumi peraih nobel autofagi 2016
Autofagi melibatkan beberapa organel salah satunya lisosom, jika terdapat sinyal dari luar seperti kita dalam keadaan berpuasa “kondisi sel mengalami kelaparan atau pembatasan jumlah kalori”. Ilmuan Yoshinori Ohsumi menemukan autofagi menjadi intensif ketika tubuh mengalami beberapa stres seperti berpuasa, defisit kalori sehingga mekanisme autofagi akan lebih efektif. Melalui lisosom, tubuh dapat mendekomposisi berbagai struktur protein menjadi senyawa sederhana seperti asam amino.
Mekanisme Autofagi
Kondisi berpuasa ataupun berolahraga akan menjadi sinyal untuk terinduksinya gen-gen yang terlibat dalam autofagi sehingga sel akan membentuk vesikel (kantung) yang sering dikenal dengan autofagosom. Peristiwa autofagi terjadi ketika lisosom akan mendekati kantung autofagosom sehingga enzim hidrolitik lisosom masuk ke dalam autofagosom yang pada akhirnya akan memecah bagian yang rusak menjadi elemen yang lebih kecil yang nantinya digunakan sebagai sumber energi. Proses ini juga berdampak baik dalam produksi hormon pertumbuhan yang mendukung regenerasi sel dan jaringan. Waah… menarik ya UIBers sel juga bisa melakukan lain recovery cell dan berguna bagi sel itu sendiri.
Gambar 1: Mekanisme autofagi
Kegagalan Autofagi
Tanpa sadar kita sering terpapar bahan-bahan kimia, makanan yang tidak sehat secara tidak langsung mempengaruhi kondisi sel sehingga akan mengakumulasi zat-zat berbahaya yang mengganggu elemen seluler (protein, lipid, asam nukleat dan organel). Zat-zat yang kita makan mempengaruhi sel melalui sistem yang sangat kompleks. Banyak studi yang mengungkap bahwa kegagalan autofagi menyebabkan penyakit degeneratif berbahaya seperti diabetes melitus tipe 2, kanker, alzeimer dan parkinson. Salah satu target yang sering rusak adalah mitokondria sehingga kerusakan organel ini menjadi salah satu penyebab alzeimer dan parkinson. Autofagi memang unik yaa sobat, jadi akan berjalan jika ada inducer, salah satunya ketika berpuasa (defisit kalori), mechanisme stress seperti olahraga. Selain meregenerasi sel, autofagi juga aktif memakan pathogen yang masuk ke dalam tubuh. Proses autofagi akan menurun sejalan dengan bertambahnya usia, semakin tua proses autofagi akan semakin melemah.
Untuk sahabat UIB, kita sudah mengetahui bahwa autofagi merupakan mekanisme unik lewat pembatasan kalori salah satu dengan berpuasa. Puasa dapat kita terapkan sebagai life style tidak hanya puasa Ramadhan tapi juga puasa sunah-sunah lainnya yang tentunya memiliki efek yang luar biasa untuk kesehatan dan kelangsungan regenerasi sel kita. Jadi sahabat UIBers yang sudah konsisten puasa ataupun olahraga sudah membantu sel kita bebersih loh yaa, komplemen antara puasa dan olahraga akan menghasilkan proses autofagi yang optimal lagi tentunya.
Editor: Ambarwulan, S.T.