Ironi Demokrasi: Gaji Selangit, Rakyat Melarat Refleksi Kritis atas Tunjangan DPR dalam Bingkai Transparansi Demokrasi

Penulis: Mario Tangi Airaz (2351126)

Sumber: AI Gemini

Dalam sebuah republik yang mengklaim diri sebagai demokrasi, pertanyaan mendasar yang harus kita ajukan bukanlah seberapa besar gaji yang diterima wakil rakyat, melainkan sejauh mana struktur kompensasi tersebut mencerminkan nilai-nilai keadilan dan transparansi demokratis. Kenaikan tunjangan perumahan DPR RI menjadi Rp50 juta per bulan, ditambah komponen tunjangan lainnya yang membawa total penghasilan mencapai Rp104 juta, bukan sekadar isu ekonomi politik, tetapi pertanyaan eksistensial tentang hakikat representasi demokratis di Indonesia.

Data menunjukkan kesenjangan yang mencolok, gaji rata-rata dosen berkisar Rp5,5-8,1 juta dan guru Rp3,8-5,5 juta per bulan, sementara anggota DPR menerima kompensasi setara 15-20 kali lipat profesi yang fundamental bagi pembangunan SDM bangsa. Lebih ironis lagi, data BPS menunjukkan bahwa pada 2023, sekitar 9,36% penduduk Indonesia masih hidup di bawah garis kemiskinan. Paradoksnya, wakil rakyat yang seharusnya memperjuangkan kesejahteraan 27 juta rakyat miskin ini justru menikmati privilege ekonomi yang menempatkan mereka dalam 1% teratas dari segi pendapatan nasional.

Persoalan ini bukan hanya tentang angka, tetapi tentang legitimasi demokratis. Ketika anggota DPR menerima kompensasi setara direktur perusahaan multinasional, bagaimana mereka dapat secara autentik merepresentasikan petani dengan penghasilan Rp1,5 juta atau buruh dengan UMR Rp4,2 juta? Kesenjangan ekonomi yang ekstrem ini menciptakan jarak sosial yang dapat mengganggu fungsi representasi demokratis yang sesungguhnya.

Robert Dahl dalam bukunya “On Democracy” menekankan bahwa legitimasi demokratis mensyaratkan “enlightened understanding” dari warga negara tentang kebijakan yang diambil atas nama mereka. Dalam konteks Indonesia, pertanyaan krusialnya adalah: apakah rakyat dengan pendapatan per kapita yang masih rendah secara sadar memberikan persetujuan untuk membayar wakil mereka dengan standar hidup kelas atas? Transparansi menjadi kunci untuk menjawab pertanyaan ini.

Yang lebih mengkhawatirkan adalah potensi transformasi motivasi politik. Ketika kompensasi legislatif mencapai level yang sangat tinggi, politik berisiko berubah dari arena pengabdian publik menjadi kompetisi untuk mendapatkan keuntungan ekonomi pribadi. Hal ini dapat menciptakan barrier ekonomi dalam partisipasi politik, di mana hanya kalangan dengan privilege ekonomi tertentu yang mampu dan tertarik terjun ke politik.

Isu tunjangan DPR sesungguhnya adalah cerminan dari persoalan yang lebih fundamental: pentingnya transparansi dalam pengelolaan anggaran negara. Dalam sistem demokrasi yang sehat, setiap alokasi anggaran, termasuk kompensasi legislatif, harus dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka kepada publik. Transparansi ini bukan hanya untuk legitimasi demokratis, tetapi juga untuk memastikan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara.

Ironi yang muncul adalah ketika DPR, sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan anggaran, justru kurang transparan dalam mengomunikasikan rasionalisasi struktur kompensasi mereka sendiri kepada masyarakat. Bagaimana DPR dapat menjalankan fungsi pengawasan terhadap kementerian dan lembaga lain dengan kredibel jika mereka sendiri tidak menerapkan standar transparansi yang sama? Kredibilitas fungsi pengawasan DPR akan terganggu jika tidak ada konsistensi dalam penerapan prinsip akuntabilitas demokratis.

Yang diperlukan bukanlah diskursus populis tentang “gaji terlalu besar” atau “terlalu kecil”, melainkan kejelasan informasi publik tentang bagaimana setiap rupiah anggaran negara dialokasikan dan dipertanggungjawabkan. Masyarakat berhak mengetahui rasionalisasi di balik setiap keputusan kompensasi yang diambil menggunakan uang publik. Transparansi ini penting tidak hanya untuk legitimasi demokratis, tetapi juga untuk memastikan bahwa fungsi pengawasan anggaran DPR dapat berjalan dengan kredibilitas tinggi. Dalam konteks Indonesia yang masih menghadapi berbagai tantangan pembangunan, transparansi anggaran, mulai dari tingkat kementerian hingga lembaga legislatif, menjadi prasyarat fundamental bagi terwujudnya good governance dan akuntabilitas publik yang efektif. Pertanyaan yang harus dijawab bukan seberapa besar kompensasi yang “pantas”, tetapi seberapa transparan dan akuntabel proses penetapannya.

Solusi jangka panjang memerlukan reformasi struktural yang lebih mendalam. Pertama, penetapan standar kompensasi legislatif harus melalui mekanisme yang melibatkan partisipasi publik secara bermakna. Kedua, perlu ada mekanisme pelaporan berkala yang mudah diakses masyarakat tentang penggunaan anggaran DPR. Ketiga, sistem evaluasi kinerja legislatif harus dikaitkan dengan tingkat kompensasi yang diterima.

Sebagai mahasiswa hukum, hemat saya adalah kita sebagai masyarakat berhak mengetahui rasionalisasi di balik setiap keputusan kompensasi yang menggunakan uang publik. Hanya melalui transparansi yang konsisten dan reformasi struktural yang komprehensif, institusi demokratis dapat mempertahankan legitimasi dan kepercayaan publik yang menjadi fondasi sistem demokrasi yang sehat. Masa depan demokrasi Indonesia tidak hanya bergantung pada prosedur formal, tetapi pada kemampuan institusi-institusi demokratis untuk menjalankan fungsinya dengan integritas dan akuntabilitas yang tinggi.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

  1. TEMPO. (2025, Agustus 19). “Cara Anggota DPR Manfaatkan Tunjangan Rumah Rp 50 Juta: Ada yang Sewa Hotel” https://www.tempo.co/politik/cara-anggota-dpr-manfaatkan-tunjangan-rumah-rp-50-juta-ada-yang-sewa-hotel-2060525
  2. Kompas.com. (2025, Agustus 19). “Rincian Lengkap Gaji Anggota DPR RI dan Semua Tunjangan, Capai 3 Digit.” https://money.kompas.com/read/2025/08/19/115446626/rincian-lengkap-gaji-anggota-dpr-ri-dan-semua-tunjangan-capai-3-digit
  3. CNN Indonesia. (2025, Agustus 19) “Anggota DPR Dapat Tunjangan Rumah Rp50 Juta” https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20250819064349-532-1263859/anggota-dpr-dapat-tunjangan-rumah-rp50-juta
  4. PNN. (2025, Januari 19). “Perbandingan Gaji Dosen di Indonesia dan Negara-Negara ASEAN Tahun 2025.” https://pnn.ac.id/perbandingan-gaji-dosen-di-indonesia-dan-negara-negara-asean-tahun-2025/
  5. Dealls. (2025, April 16). “Gaji Guru Honorer Terbaru: Tunjangan & Bantuan Cair Mulai Mei 2025.” https://dealls.com/pengembangan-karir/gaji-guru-honorer
  6. Dahl, R. (1998). On Democracy. Yale University Press.

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri