Dilema Hak Konstitusional di Tengah Asap: Tumpang Tindih Isu Polusi dan Kenaikan Biaya Hidup di Megapolitan

Penulis: Arinda Uly Sukowati (2551105)

Sumber: ChatGPT

1. Ketika Udara Menjadi Barang Mewah

Isu polusi udara di megapolitan Indonesia telah bergeser dari sekadar ancaman kesehatan lingkungan menjadi krisis sosial dan hukum yang multidimensi. Artikel opini ini berargumen bahwa penanganan polusi udara yang tidak tuntas telah menciptakan konflik hak konstitusional yang tumpang tindih antara Hak atas Lingkungan Hidup yang Baik dan Sehat (Pasal 28H ayat (1) UUD 1945) yang terwujud dalam tuntutan udara bersih, dengan Hak atas Tempat Tinggal dan Peningkatan Kesejahteraan Diri (Pasal 28H ayat (2) UUD 1945) yang kini terancam oleh dampak ekonomi turunan. Secara khusus, fenomena kenaikan biaya sewa properti di daerah dengan kualitas udara yang sedikit lebih baik (seperti pinggiran kota atau kawasan yang diyakini bebas polusi industri) menunjukkan bagaimana keadilan lingkungan telah menjadi komoditas.

2. Polusi dan Stratifikasi Sosial Baru

Polusi udara menciptakan stratifikasi sosial baru yang brutal. Data menunjukkan bahwa wilayah yang paling terdampak oleh polusi seringkali dihuni oleh masyarakat berpenghasilan rendah yang tinggal dekat dengan sumber emisi, baik itu kawasan industri, jalur transportasi padat, atau tempat pembakaran sampah. Mereka secara paksa menjadi korban pertama dan paling rentan dari kegagalan tata kelola lingkungan. Ironisnya, masyarakat yang memiliki sumber daya ekonomi justru berbondong-bondong membeli udara bersih, yaitu dengan pindah ke kawasan yang lebih elit atau pinggiran kota yang dianggap lebih hijau, atau dengan membeli alat penjernih udara berteknologi tinggi.

3. Kenaikan Biaya Hidup Akibat Air Quality Premium

Pergeseran demografi ini memicu fenomena sosial-ekonomi yang signifikan: kenaikan tajam harga sewa properti di kawasan yang kualitas udaranya relatif lebih baik. Kami menyebutnya sebagai Air Quality Premium. Kawasan-kawasan ini, yang sebelumnya terjangkau, kini didominasi oleh pencari udara bersih dari kelas menengah ke atas. Tuntutan akan lokasi yang sehat (health-seeking behaviour) meningkatkan permintaan properti, yang pada gilirannya mendorong spekulasi harga dan kenaikan sewa. Akibatnya, masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah yang sudah ada di sana terdesak, menghadapi dilema pahit: bertahan dengan udara kotor atau pindah ke area yang juga kotor karena mahalnya biaya hidup.

4. Implikasi Hukum: Pelanggaran Hak atas Tempat Tinggal

Konflik ini menyeret implikasi hukum yang mendalam. Hak atas tempat tinggal yang layak (the right to adequate housing), sebagaimana dijamin konstitusi, tidak hanya berarti memiliki atap di atas kepala, tetapi juga meliputi akses terhadap lingkungan yang layak. Ketika masyarakat terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya (atau tidak mampu mengakses tempat tinggal yang sehat) karena faktor polusi dan kenaikan biaya sewa yang dipicunya, maka sejatinya negara gagal memenuhi perlindungan hak atas tempat tinggal yang utuh. Mahalnya biaya sewa karena polusi adalah bentuk penggusuran ekonomi (economic displacement) yang terselubung.

5. Tanggung Jawab Hukum Korporasi dan Negara

Secara hukum, pertanggungjawaban atas polusi udara, terutama yang bersumber dari entitas tertentu (industri, pembangkit listrik), telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH). Dalam kasus polusi, putusan pengadilan mengenai gugatan warga negara (Citizen Lawsuit) telah menegaskan adanya kelalaian negara. Namun, pendekatan hukum harus diperluas untuk mencakup dampak sosial-ekonomi turunan. Negara wajib hadir tidak hanya untuk membersihkan udara, tetapi juga untuk meregulasi pasar properti agar dampak kenaikan biaya hidup akibat faktor lingkungan tidak semakin memperburuk ketimpangan sosial (Suryawan & Budiyono, 2022).

6. Keadilan Lingkungan yang Lebih Holistik

Penerapan konsep Keadilan Lingkungan (Environmental Justice) menjadi krusial. Konsep ini menuntut bahwa tidak ada kelompok masyarakat, termasuk berdasarkan status ekonomi, yang menanggung beban lingkungan yang tidak proporsional. Dalam konteks ini, keadilan lingkungan harus diartikan sebagai upaya restorasi ganda, restorasi kualitas udara di seluruh area perkotaan dan restorasi keadilan ekonomi melalui kebijakan perumahan yang melindungi masyarakat dari penggusuran ekonomi akibat Air Quality Premium.

7. Urgensi Intervensi Kebijakan

Intervensi kebijakan harus bersifat multi-sektor. Dari sisi hukum lingkungan, penegakan UUPPLH harus diperketat dengan sanksi yang berlipat ganda (cumulative sanctions) untuk entitas pencemar. Dari sisi hukum sosial-ekonomi, pemerintah daerah perlu mempertimbangkan regulasi batas kenaikan sewa (rent control) di kawasan-kawusan yang sedang mengalami lonjakan harga akibat faktor lingkungan, atau memberikan subsidi tempat tinggal yang dikaitkan langsung dengan tingkat paparan polusi di kawasan asal mereka. Pendekatan ini adalah upaya nyata melindungi kedua hak konstitusional secara simultan.

8. Udara dan Tempat Tinggal Bukan Privilese

Polusi udara di perkotaan telah menciptakan labirin etika dan hukum di mana hak-hak dasar saling bertabrakan. Udara bersih dan tempat tinggal yang layak adalah hak fundamental, bukan privilese yang dapat dibeli oleh segelintir orang. Jika negara terus gagal menuntaskan polusi, biaya sosial-ekonomi yang harus dibayar oleh masyarakat rentan akan semakin mahal. Oleh karena itu, hukum tidak hanya harus menjangkau cerobong asap industri, tetapi juga spekulan properti yang mengambil keuntungan dari penderitaan masyarakat yang terdesak mencari napas yang lebih sehat. Upaya ini adalah ujian sesungguhnya bagi supremasi hukum dan keadilan sosial di Indonesia.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

1. Hariyanto, B. M., & Setiawan, I. (2023). Polusi Udara dan Implikasi Hukum pada Hak Konstitusional Warga Negara: Analisis Putusan Citizen Lawsuit. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, 10(1), 1–18.

2. Suryawan, I. N., & Budiyono, B. (2022). Keadilan Lingkungan dan Ketimpangan Spasial di Perkotaan: Tinjauan Akses terhadap Ruang Hijau dan Udara Bersih. Jurnal Sosiologi Perkotaan, 15(2), 201–218.

3. United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat). (2021). The Right to Adequate Housing: An Overview of the International Legal Framework. Global Report on Human Settlements Series.

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri