Penulis: Mushafa Rizkiansyah Modjo (2451051)
Sumber: Tirto.id
Polisi Adalah salah satu institusi yang vital dalam negara hukum. UUD 1945 dengan jelas telah membuat POLRI sebagai alat negara yang berperan penting dalam menjaga keamanan dan terutama ketertiban masyarakat. Pasal 30 ayat ayat 4 UUD 1945 telah jelas menjelaskan bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga kemanan dan ketertiban masyarakat dengan tugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakan hukum. Ketentuan ini dipertegas dalam Undang Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik indonesia. Maka sudah jelas secara normatif polisi seharusnya menempatkan dirinya sebagai lembaga service oriented dengan mengutamakan pelayanan publik, serta menjadi simbol keadilan hukum di tengah masyarakat. Tetapi pada prakteknya, masyarakat jusru menilai polisi sebagai institusi yang power oriented, yakni isntitusi kekuasaan yang menampilkan dominasi dimana hal itu sangat berkebalikan dengan bagaimana polisi di ciptakan.
Jika kita lihat kejadian yang terbaru ini bahkan pada tanggal 28 Agustus 2025, seorang ojek online, seorang tulang punggung keluarga, affan kurniawan harus menghembuskan nafas terakhirnya akibat di tabrak oleh kendaraan taktis brimob. Sungguh kenyataan yang tragis jika kita melihat umur affan yang dikategorikan masih tergolong muda yaitu 21 tahun harus menerima kenyataan bahwa hidupnya harus direngut oleh lembaga yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat. Pada kejadian itu, tidak hanya affan yang menjadi korban tetapi ada satu temannya yang juga dilindas oleh para pelayan masyarakat itu, atas nama Moh Umar Amarudin yang sampai sekarang masih tergeletak tidak berdaya di rumah sakit cipto mangunkusumo, Jakarta.
Dalam 3 tahun terakhir, sedikitnya 100 nyawa diduga melayang di tangan polisi. Sebut saja, Gamma Rizkynata remaja umur 17 tahun yang kehilangan nyawanya akibat timah panas yang di keluarkan oleh AIPDA Robig Zaenudin, Afif maulana, pelajar SMP berusia 13 tahun yang kehilangan nyawanya akibat penganiyayaan, dan 131 nyawa melayang pada tragedi kanjuruhan. Jika hal ini terus berlanjut, apakah fungsi polisi sebagai pelayan Masyarakat hanya sebatas hitam diatas putih saja? Atau norma yang tidak dapat direalisasikan?
Fenomena ketimpangan antara norma dan praktik dapat di lihat dari kacamata sosiologi Hukum. Sajipto Rahardjo (2009) pada teori hukum progresif telah menekankan bahwa hukum harus hadir sebagai sarana untuk memberikan keadilan subtantif, bukan hanya formalitas belaka. Akan tetapi pada praktek kepolisian, hukum kerap hanya menjadi alat bagi para pemegang kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari berbagai kasus pelanggaran HAM oleh aparat termasuk juga penggunaan kekerasan yang berlebihan, penculikan bahkan sampai menghilangkan nyawa dalam pengendalian massa saat demonstrasi.
Pada akhirnya, ketimpangan antara amanat normatif dan praktik tidak mungkin diberantas hanya dengan merevisi peraturan atau memperbaiki substansi hukumnya. Lawrence M. Friedman dalam teorinya mengenai legal system menekankan bahwa budaya hukum (legal culture) merupakan salah satu elemen penting yang menentukan efektivitas hukum, di samping struktur dan substansi. Dalam konteks Polri, persoalan kultural ini berakar sejak proses rekrutmen hingga pola pengangkatan jabatan, yang masih sarat dengan orientasi kekuasaan (power-oriented). Akibatnya, tercipta budaya senioritas yang buruk, ketika seorang atasan atau senior melakukan pelanggaran, hal tersebut justru dianggap sebagai hal yang lumrah dan akhirnya dibiarkan. Dari sinilah lahir praktik-praktik yang melekat kuat, seperti pungutan liar, korupsi, serta pelayanan publik yang tidak ramah dan lamban semua itu menunjukkan bahwa masalah Polri bukan sekadar soal aturan, melainkan soal kultur yang telah mengakar dalam tubuh institusi.
Oleh karena itu, reformasi yang harus dilakukan bukan hanya sebatas hitam diatas putih, bukan hanya formalitas belaka tetapi reformasi yang di inginkan adalah kembalinya Polri sesuai dengan mandat yang telah di berikan oleh UUD 1945 yaitu sebagai pelayan masyarakat, bukan sebagai pemilik masyarakat apalagi penguasa masyarakat. Reformasi kultural perlu di tekankan dengan menanamkan stigma service oriented yang berputar pada pelayanan dan partisipasi publik, bukan dominasi kekuatan.
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
- Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2011 tentang Komisi Kepolisian Nasional.
- Rahardjo, Satjipto. (2009). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas.
- Friedman, Lawrence M. (1975). The Legal System: A Social Science Perspective. New York: Russell Sage Foundation.
- KontraS. (2023). Laporan Tahunan: Catatan Kekerasan Aparat Kepolisian. Jakarta: KontraS.
- Kompas.id. (2023, 9 November). Dari Institusi Kekuasaan Menuju Pelayanan Publik. Diakses dari https://www.kompas.id/artikel/dari-institusi-kekuasaan-menuju-pelayanan-publik.
- BBC Indonesia. (2023, 4 Oktober). Polisi dalam Sorotan: Kritik terhadap Kultur Kekerasan. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/articles/c3vw2zpz1lwo.
- Tempo.co. (2025, 28 Agustus). Kronologi Ojol Tewas Dilindas Rantis hingga Demo di Mako Brimob. Diakses dari https://www.tempo.co/hukum/kronologi-ojol-tewas-dilindas-rantis-hingga-demo-di-mako-brimob-2064279