Penulis: Gilang Ananda, S.Kom
Dunia sinematografi tidak hanya tentang sutradara, aktor, dan kamera mahal. Di balik layar, terdapat tim teknis yang bekerja presisi demi menciptakan visual yang memukau. Bagi orang awam, banyak peran penting dan proses produksi yang belum familiar namun memiliki kontribusi besar terhadap hasil akhir sebuah film. Berikut beberapa hal menarik yang sering terlewatkan oleh penonton umum.
1. Focus Puller: Si Juru Fokus yang Tak Pernah Tertangkap Kamera
Sumber: lens-notes.com
Salah satu peran teknis krusial dalam sinematografi adalah focus puller, atau dalam istilah resminya disebut First Assistant Camera (1st AC). Tugas utama focus puller adalah memastikan subjek dalam adegan selalu fokus secara tajam, meski sedang bergerak. Terdengar mudah? Sama sekali tidak.
Focus puller bekerja dengan presisi tinggi dan biasanya tidak melihat melalui kamera secara langsung. Mereka mengandalkan distance marking dan alat bantu seperti pengukur jarak laser. Ketika kamera bergerak mengikuti aktor, focus puller harus mengatur fokus lensa secara manual dengan presisi milimeter, sesuai dengan jarak antara kamera dan subjek. Sedikit saja kesalahan, adegan harus diulang. Dalam banyak produksi profesional, hasil yang sedikit buram karena kesalahan fokus tidak dapat diterima, apalagi untuk tayangan bioskop.
Di era modern, beberapa sistem fokus menggunakan teknologi otomatis, namun untuk sinematografi kelas atas, sentuhan manusia focus puller masih jadi standar emas.
2. Bukan “Lights, Camera, Action” Tapi “Slate in, Sound, Camera, Action!”
Sumber: lintasbabel.inews.id
Kita sering mendengar frasa legendaris “Lights, Camera, Action!” dalam film-film tentang pembuatan film. Namun dalam praktik sebenarnya di lokasi syuting, prosedurnya sedikit berbeda dan lebih teknis. Urutan komando yang benar dan biasa diucapkan oleh asisten sutradara atau pihak teknis adalah:
“Slate in – Sound rolling – Camera rolling – Action!”
Penjelasannya:
- Slate in: Menandakan clapperboard atau papan adegan masuk ke dalam frame, untuk disinkronkan dengan audio.
- Sound rolling: Operator audio mengonfirmasi bahwa perekam suara sudah berjalan.
- Camera rolling: Operator kamera mengonfirmasi bahwa kamera mulai merekam dengan mengatakan roll/frame. Pada saat ini pula clapper mulai membaca detail pada Clapperboard.
- Action: Baru setelah semuanya siap, sutradara memberikan aba-aba bagi aktor untuk mulai berakting.
Komando ini bukan hanya formalitas; sinkronisasi antara suara dan gambar sangat penting terutama dalam produksi yang merekam audio secara terpisah dari kamera.
3. Clapperboard: Lebih dari Sekadar Papan Hitam-Putih
Sumber: Generate by ChatGPT.com
Banyak yang mengira clapperboard hanya alat untuk menandai adegan dan take. Nyatanya, papan ini berfungsi vital dalam menyinkronkan suara dan gambar. Ketika papan dipukul dan suara “tek” terdengar, editor di ruang pascaproduksi mencocokkan suara pukulan dengan gerakan papan pada video, agar dialog dan suara lainnya pas dengan pergerakan di layar.
Versi modern dari clapperboard bahkan sudah dilengkapi dengan jam digital sinkronisasi (timecode), memudahkan proses editing di sistem non-linear.
4. Kamera Tidak Selalu Bergerak Pakai Dolly atau Crane
Sumber: Generate by ChatGPT.com
Pernah terpikir bagaimana kamera bisa bergerak mulus mengikuti aktor? Banyak orang mengira semuanya dilakukan dengan dolly (rel kamera) atau crane (lengan kamera tinggi). Tapi teknologi Steadicam, yang diciptakan pada tahun 1975, merevolusi pergerakan kamera. Dengan menggunakan rompi dan peralatan penyeimbang, operator Steadicam bisa berjalan, berlari, bahkan naik tangga sambil menghasilkan gerakan kamera yang stabil. Ini yang memungkinkan adegan seperti hallway tracking dalam film The Shining terlihat begitu halus tanpa getaran.
Kini, teknologi berkembang ke gimbal seperti Ronin atau Movi yang lebih ringan dan digital, memungkinkan kamera kecil menghasilkan gerakan sinematik layaknya film blockbuster.
5. Warna dalam Film Ditentukan di Ruang Grading
Sumber: filmsupply.com
Kita mungkin mengira suasana warna dalam film hangat, dingin, suram, atau mencolok hanya hasil filter kamera. Faktanya, hampir semua film melewati proses color grading, di mana warna, kontras, saturasi, dan pencahayaan disesuaikan secara digital setelah syuting selesai.
Seorang colorist bekerja bersama sinematografer dan sutradara untuk menyusun nuansa visual yang mendukung emosi cerita. Warna kehijauan pada film The Matrix atau palet oranye-biru khas film aksi bukan hasil kamera, tapi kerja seni yang rumit dalam tahap pascaproduksi.
6. 90-Minutes Rules
Sumber: kincir.com
Pernahkah kamu menyadari mengapa banyak film berdurasi sekitar 90 menit? Hal ini bukan sekadar soal pacing yang dipadatkan, penyederhanaan cerita, atau efisiensi waktu dan biaya. Jika diperhatikan, durasi 90 menit tergolong ideal bagi target audiens dalam mencerna isi film. Terlebih jika film tersebut merupakan film keluarga dengan alur sederhana, cerita pun menjadi lebih mudah dipahami oleh penonton.
Selain itu, alasan lain mengapa durasi film rata-rata berkisar 90 menit adalah pertimbangan distribusi penayangan. Misalnya, jika durasi film mencapai 120 menit, kemungkinan hanya dapat ditayangkan lima kali dalam satu hari di satu ruang teater. Sebaliknya, film berdurasi 90 menit dapat ditayangkan hingga tujuh kali, yang berarti lebih banyak pemasukan bagi rumah produksi serta potensi jumlah penonton yang lebih tinggi.
Dunia sinematografi penuh dengan detail teknis dan peran tersembunyi yang sering luput dari perhatian penonton. Dari focus puller yang menjaga ketajaman gambar, hingga teknik pengambilan gambar dan pengaturan warna, semuanya saling bekerja demi satu tujuan, yakni menciptakan pengalaman visual yang memukau. Jadi, saat menonton film berikutnya, coba perhatikan lebih dalam karena keajaiban sinema tidak hanya terjadi di depan kamera, tapi juga di baliknya.
Editor: Jaya Ridho Nugroho, S.Kom
Referensi:
- StudioBinder.com, What is a Focus Puller, 2022. Access: https://www-studiobinder-com.translate.goog/blog/what-is-a-focus-puller-job-description/?_x_tr_sl=en&_x_tr_tl=id&_x_tr_hl=id&_x_tr_pto=tc
- Studio Antelope, Tips Film: Kata-Kata Yang Harus Diucapkan Sebelum ‘Action’!, 2022. Access: https://studioantelope.com/tips-film-yang-harus-diucapkan-sebelum-action/amp/
- Studio Antelope, Cara Menggunakan Clapper Board dalam Produksi Film. Access: https://studioantelope.com/cara-menggunakan-clapper-board/
- Fachreza Aditya Putra, & Triadi Sya’dian. (2024). Penerapan Teknik Color Grading Untuk Menunjukkan Perubahan Suasana Dalam Penciptaan Film “Hari Yang Tadi”. Journal of Art, Film, Television, Animation, Games and Technology, 3(1), 1–16. Retrieved from https://journal-prosfisi.or.id/index.php/framing/article/view/26
- Grace, Vanness & Linando, Stephani. (2022). Camera Movement.