Menimbang Keadilan Restoratif: Ketika Damai Tidak Sama dengan Adil

Penulis: Kahesya Aliqa Intan Mawaddah (2551096)

Konsep Keadilan Restoratif (Restorative Justice – RJ) kini diakui sebagai salah satu pendekatan progresif dalam sistem peradilan pidana Indonesia, bertujuan menggeser fokus dari penghukuman pelaku menjadi pemulihan bagi korban dan komunitas. Regulasi seperti Peraturan Kejaksaan dan Peraturan Kapolri telah melegitimasi RJ. Namun, dalam implementasi praktisnya, RJ menghadapi dilema serius. Bukannya menegakkan keadilan yang utuh, praktik RJ sering kali dimaknai sebatas “perdamaian” demi efisiensi penyelesaian perkara, bahkan digunakan sebagai celah hukum untuk menghentikan kasus-kasus serius, sehingga mengabaikan esensi pemulihan dan merusak kepercayaan publik terhadap penegakan hukum.

Dasar hukum RJ di Indonesia diatur dalam beberapa peraturan, termasuk Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020 dan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021. Kedua regulasi ini membatasi penerapan RJ hanya pada tindak pidana tertentu, umumnya dengan ancaman pidana di bawah lima tahun, disertai syarat pemulihan penuh bagi korban. Masalah muncul ketika batas normatif ini diterjemahkan di lapangan. Diskresi penegak hukum yang terlalu besar, dipengaruhi oleh tekanan pihak-pihak berkepentingan, menyebabkan RJ rentan disalahgunakan untuk kasus-kasus di luar batas ideal, menciptakan ketidakpastian hukum yang merugikan.

Kasus-kasus berat seperti tindak pidana korupsi yang menawarkan pengembalian kerugian negara, atau kasus kekerasan seksual yang berakhir damai di luar pengadilan, menunjukkan pergeseran makna RJ. Pengembalian aset dalam korupsi seharusnya tidak menghapus pidana, dan “perdamaian” dalam kekerasan tidak dapat memulihkan trauma korban. Fenomena ini membuktikan bahwa RJ, yang seharusnya menjadi pedoman humanis dalam kasus ringan, malah menjadi alat de-kriminalisasi instan dalam kasus yang memerlukan sanksi pidana dan  pertanggungjawaban publik yang tegas.

Sumber: ChatGPT

Paradoks lain terlihat pada kasus ringan. Seringkali, RJ hanya dapat diakses oleh pihak yang memiliki daya tawar tinggi, seperti tokoh publik atau mereka yang mampu membayar kompensasi besar. Sementara itu, RJ justru sulit didapatkan oleh masyarakat miskin atau marjinal yang seharusnya paling diuntungkan dari penyelesaian non-penal (di luar penjara). Ini menciptakan ketimpangan akses keadilan, di mana RJ berfungsi melindungi kekuasaan dan modal, alih-alih memberikan solusi humanis bagi masyarakat kecil.

Secara filosofis, RJ didasarkan pada teori yang memandang kejahatan sebagai pelanggaran hubungan antarmanusia, bukan sekadar pelanggaran terhadap negara. Tujuannya adalah pertanggungjawaban, rekonsiliasi, dan pemulihan, yang harus dicapai melalui dialog korban-pelaku yang seimbang. Ketika RJ dipaksakan atau digunakan semata-mata untuk mengurangi beban perkara (dossier) tanpa melibatkan partisipasi aktif korban, esensi pemulihan dan rekonsiliasi itu sendiri telah tercederai, menjadikan proses damai itu tidak adil.

Sumber: ChatGPT

kasus-kasus yang menimbulkan dampak serius terhadap masyarakat (misalnya korupsi skala besar) atau kasus yang memiliki imbalance of power tinggi (misalnya kekerasan berbasis gender), sebagaimana diamanatkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru (UU No. 1 Tahun 2023). Pengetatan ini akan melindungi integritas konsep RJ.

Selain pengetatan regulasi, faktor pengawasan dan transparansi harus diperkuat. Perlu dibentuk komite independen yang melibatkan akademisi, tokoh masyarakat, dan lembaga korban untuk mengaudit proses keputusan RJ dalam kasus-kasus sensitif. Transparansi ini penting untuk memastikan bahwa RJ tidak menjadi pintu belakang bagi impunitas, melainkan menjadi proses yang benar-benar akuntabel dan berorientasi pada pemulihan hak-hak korban.

Keadilan Restoratif adalah jalan maju dalam reformasi hukum pidana Indonesia. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada komitmen penegak hukum untuk memegang teguh semangat pemulihan dan bukan hanya perdamaian administratif. Jika RJ terus menerus disalahgunakan untuk menutupi kejahatan serius atau diintervensi oleh kepentingan, maka keadilan restoratif akan kehilangan legitimasi dan hanya akan menjadi alat legal baru yang menegaskan kembali hukum yang tajam ke bawah dan tumpul ke atas.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

  1. Republik Indonesia. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP Baru)(Peraturan ini mengintegrasikan prinsip-prinsip RJ dalam hukum pidana formal Indonesia.)
  2. Republik Indonesia. Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
  3. Republik Indonesia. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri