Kenaikan Tunjangan DPR: Antara Kebutuhan Anggaran dan Tuntutan Etika Publik

Penulis: Ritki Wijaya (2451133)

Sumber: ChatGPT

Kebijakan kenaikan tunjangan perumahan DPR kembali menjadi sorotan publik pada tahun 2025. Isu ini mencuat setelah penetapan tunjangan sebesar Rp50 juta per bulan bagi anggota DPR periode 2024-2029 menuai pro dan kontra. Di satu sisi, DPR menilai bahwa kenaikan tunjangan diperlukan untuk menyesuaikan dengan harga sewa rumah di Jakarta yang semakin tinggi. Namun, di sisi lain, publik mempertanyakan kelayakan kebijakan ini dalam situasi ketidakpastian ekonomi nasional.

Alasan utama yang diajukan DPR terkait kebijakan ini adalah kebutuhan untuk mendukung kinerja legislator. Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga (BURT) DPR, Achmad Dimyati Natakusumah, menyatakan bahwa “Penyesuaian tunjangan merupakan hal wajar, sebab harga sewa rumah di Jakarta sudah meningkat signifikan” (Detik, 2025). Argumen ini sejalan dengan pandangan bahwa anggota legislatif membutuhkan fasilitas memadai agar dapat fokus menjalankan tugas legislasi, pengawasan, dan representasi. Meski demikian, narasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar mengenai prioritas belanja negara.

Kritik publik justru semakin menguat, terutama karena kenaikan tunjangan ini terjadi saat kondisi ekonomi masih menantang. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tingkat kemiskinan nasional per Maret 2025 masih berada pada angka 9,04 persen, dengan jumlah penduduk miskin mencapai 25,2 juta jiwa (BPS, 2025). Angka ini menunjukkan bahwa kebijakan fiskal semestinya lebih diarahkan pada program pengentasan kemiskinan dan perlindungan sosial. Dalam konteks ini, kenaikan tunjangan DPR berpotensi menimbulkan kesan adanya ketimpangan keadilan dalam pengelolaan anggaran negara.

Selain itu, publik juga menyoroti aspek keadilan distributif dari kebijakan ini. Kenaikan tunjangan dianggap tidak selaras dengan prinsip keadilan sosial sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 UUD 1945. Hal ini menekankan bahwa setiap kebijakan anggaran sebaiknya mempertimbangkan rasa keadilan di masyarakat, bukan semata-mata untuk kepentingan internal lembaga legislatif. Pandangan ini memperkuat kritik bahwa legitimasi kebijakan DPR seharusnya berpijak pada kebutuhan rakyat banyak, bukan semata-mata kepentingan internal lembaga.

Isu etika publik juga menjadi sorotan yang tidak kalah penting. Indonesia Corruption Watch (ICW), menilai bahwa tunjangan rumah DPR sebagai pemborosan anggaran dan memperkirakan beban pemerintah mencapai Rp 1,74 triliun dalam lima tahun (Tempo, 2025). Kritik tersebut menegaskan bahwa legitimasi politik tidak hanya dibangun melalui aturan formal, tetapi juga melalui kepekaan moral. Jika DPR mengabaikan aspek etika publik, maka citra lembaga legislatif dapat semakin merosot di mata masyarakat.

Transparansi anggaran menjadi faktor kunci dalam perdebatan ini. Laporan Transparency International (2025) menegaskan bahwa keterbukaan informasi publik mengenai belanja negara merupakan instrumen penting dalam mencegah praktik korupsi. Dalam kasus kenaikan tunjangan DPR, minimnya sosialisasi dan argumentasi terbuka menimbulkan persepsi negatif di masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang sebenarnya sah secara hukum menjadi bermasalah secara etis (CNN, 2025).

Selain persoalan etika dan transparansi, efektivitas penggunaan anggaran juga patut dipertanyakan. Kementerian Keuangan menekankan bahwa setiap belanja negara harus sejalan dengan prinsip value for money atau manfaat maksimal bagi public (DJPb Kemenkeu RI, 2025). Pertanyaan kritis muncul: apakah kenaikan tunjangan DPR benar-benar berkontribusi pada peningkatan kualitas legislasi? Jika tidak, kebijakan ini berpotensi menambah beban fiskal tanpa memberikan manfaat nyata bagi masyarakat.

Pada akhirnya, kebijakan kenaikan tunjangan DPR harus ditempatkan dalam kerangka keseimbangan antara kebutuhan kelembagaan dan tuntutan etika publik. Pemerintah dan DPR perlu mempertimbangkan kembali skala prioritas, terutama ketika masih banyak kebutuhan mendesak masyarakat yang belum terakomodasi secara optimal. Transparansi dan komunikasi publik yang terbuka menjadi kunci agar kebijakan fiskal tidak menimbulkan persepsi negatif. Tanpa hal itu, kebijakan yang dimaksudkan untuk mendukung kinerja justru akan memperlebar jurang ketidakpercayaan antara rakyat dan wakilnya.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

BPS. (2025). Persentase Penduduk Miskin Maret 2023 turun menjadi 10,35 persen. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/07/25/2518/persentase-penduduk-miskin-maret-2025-turun-menjadi-8-47-persen-.html

CNN. (2025). ICW Datangi DPR Minta Aturan Gaji hingga Tunjangan Ratusan Juta Rupiah. CNN Indonesia. https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250822140134-32-1265293/icw-datangi-dpr-minta-aturan-gaji-hingga-tunjangan-ratusan-juta-rupiah

Detik. (2025). Wakil Ketua DPR Sebut Tunjangan Rumah Rp 50 Juta Masuk Akal. DetikProperti. https://www.detik.com/properti/berita/d-8070296/wakil-ketua-dpr-sebut-tunjangan-rumah-rp-50-juta-masuk-akal?

DJPb Kemenkeu RI. (2025). Pelaksanaan Anggaran 2025: Satker Diminta Percepat Program dan Tingkatkan Kualitas Belanja. Kemenkeu. https://djpb.kemenkeu.go.id/kppn/tanjung/id/data-publikasi/189-berita/2979-pelaksanaan-anggaran-2025-satker-diminta-percepat-program-dan-tingkatkan-kualitas-belanja.html?

Tempo. (2025). Kritik atas Tunjangan Rumah Anggota DPR Rp 50 Juta per Bulan | tempo.co. Tempo. https://www.tempo.co/politik/kritik-atas-tunjangan-rumah-anggota-dpr-rp-50-juta-per-bulan–2061643

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri