Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.
Janganlah bilang Indonesia sudah merdeka…
Selama korupsi kini masih meraja lela…
Korupsi membuat kepedulian kita sirna…
Katakan TIDAK pada ajaran sesat harta yang sesaat…
Begitulah bunyi petikan syair yang dinyanyikan oleh seorang pengamen dalam iklan pemberantasan korupsi yang pernah ditayangkan di Televisi Republik Indonesia (TVRI) sekitar tahun 2000-an. Sederhana, tapi memiliki makna yang dalam. Indonesia masih belum dianggap merdeka sampai korupsi sudah tidak banyak lagi di Indonesia. Tidak salah, karena memang hakekat kemerdekaan itu seharusnya bebas dari kemiskinan, penderitaan, penjajahan dan ketidakadilan. Hampir setiap tahun juga refleksi mengenai korupsi selalu menjadi isu utama menjelang kemerdekaan Republik Indonesia. Sampai usianya kini, korupsi masih menjadi kata yang populer di Indonesia.
Sumber: https://chatgpt.com/
“Korupsi lagi.. korupsi lagi. Tiap hari berita korupsi.” Itu adalah kalimat-kalimat kelelahan yang sudah bosan didengar dan diucapkan masyarakat. Meski berbagai upaya telah dilakukan untuk memberantas korupsi, namun fenomena ini masih menjadi masalah serius yang menghambat pembangunan dan merusak kepercayaan masyarakat, terutama kepada institusi negara. Hampir semua lini kehidupan dikorupsi oleh manusia-manusia rakus di negeri ini. Belum selesai perkara pengadaan bantuan Covid-19 (2020), muncul lagi kasus korupsi proyek pembangunan menara BTS (2023), belum selesai muncul lagi kasus pemerasan terhadap pejabat Kementerian Pertanian (2024), muncul lagi kasus pertamina (2025) dan muncul lagi kasus suap ekspor minyak sawit. Semua kasus tersebut hanyalah segelintir kasus yang terungkap dari gunung es kasus korupsi yang terjadi di Indonesia. Seakan tidak ada habis-habisnya. Korupsi terus hadir menyekik dan menambah beban penderitaan rakyat dengan kerugian yang ditimbulkannya.
Kasus Suap Ekspor Minyak Sawit
Baru-baru ini, “oknum” aparat penegak hukum kembali bertingkah dan menunjukkan “kebejatannya”. Pada April 2025 pasca lebaran Idul Fitri, Kejaksaan Agung kembali mengungkap dugaan suap sebesar Rp 60 miliar yang diterima oleh Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, dari dua pengacara, Marcella Santoso dan Ariyanto. Uang tersebut diduga diberikan untuk mempengaruhi putusan perkara korupsi ekspor minyak kelapa sawit mentah CPO yang melibatkan tiga perusahaan besar: Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group. Arif kemudian membagikan Rp 22,5 miliar dari uang tersebut kepada tiga hakim lainnya, yaitu Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto, agar menjatuhkan putusan lepas (ontslag) kepada ketiga perusahaan tersebut.
Padahal diketahui bahwa Ali Muhtarom sendiri merupakan hakim yang sedang ditunjuk untuk menyidangkan kasus korupsi impor gula atas nama Tom Lembong (eks Menteri Perdagangan). Selain itu juga diketahui Djuyamto merupakan hakim ketua kasus penyiraman air keras terhadap penyidiksenior KPK Novel Baswedan (2019) dan menjadi hakim tunggal dalam sidang praperadilan Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kritiyanto. Istilahnya “Tersangka hakim koruptor yang pernah menyidangkan terdakwa kasus koruptor”. Sungguh miris, meskipun kemudian Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat telah mengganti hakim yang mengadili kasus Tom Lembong.
Sumber: https://chatgpt.com/
Jika memang terbukti, kasus suap yang melibatkan empat hakim di PN Jakarta Selatan termasuk dalam tindak pidana korupsi, khususnya kategori gratifikasi dan suap pejabat publik. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf c UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) bahwa hakim yang menerima hadiah atau janji untuk mempengaruhi putusan perkara yang ditanganinya dapat dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun serta denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.
Selain sanksi pidana, para hakim dapat dikenai sanksi etik berupa: 1) pemberhentian sementara oleh Mahkamah Agung (sudah dilakukan); 2) Pemeriksaan kode etik dan perilaku hakim oleh Komisi Yudisial; dan 3) Jika terbukti, maka dapat dikenai pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Sementara bagi pengacara selaku si pemberi suap maka dapat dikenai sanksi berdasarkan Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b UU Tipikor, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun serta denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Jika terbukti, apakah bisa diberikan sanksi hukuman mati? Jawabannya adalah sangat sulit untuk dapat merealisasikannya. Apalagi hukum positif yang berlaku tidak memberikan ruang untuk hal itu. Menurut ketentuan UU Tipikor, hukuman mati hanya bisa diberikan kepada pelakukan yang melakukan korupsi dalam keadaan tertentu. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor “Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan”. Ketentuan ini kemudian dijelaskan dalam bagian penjelasan UU Tipikor bahwa yang dimaksud dengan keadaan tertentu adalah apabila tindak pidana dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku, pada waktu terjadi bencana alam nasional, sebagai pengulangan tindak pidana korupsi, atau pada saat negara dalam keadaan krisis moneter dan ekonomi. Hal ini bisa berlaku misalnya seseorang melakukan tindak pidana korupsi besar-besaran saat pandemi COVID-19, krisis pangan, atau situasi bencana alam nasional, maka hal tersebut dapat dikualifikasikan sebagai keadaan tertentu.
Dampak Terhadap Sistem Peradilan
Sumber: https://chatgpt.com/c/
Banyaknya kasus korupsi yang terus terjadi menunjukkan adanya krisis moral dan integritas dalam sistem peradilan Indonesia. Tidak hanya di lembaga kehakiman tetapi hampir seluruh lembga penegak hukum lain. Terkait kasus yang melibatkan hakim baru-baru ini, Mahkamah Agung, sebagai lembaga tertinggi peradilan, telah mengambil langkah-langkah seperti memberhentikan sementara para hakim yang terlibat dan membentuk Satuan Tugas Khusus untuk mengevaluasi kedisiplinan dan kepatuhan hakim terhadap kode etik.
Namun, langkah-langkah tersebut masih belum cukup untuk mengembalikan kepercayaan publik. Sampai kapan ungkapan berkedok “reformasi” sistem peradilan perlu dilakukan, sementara oknum aparat penegak hukum yang terlibat merupakan produk reformasi hukum yang telah dilakukan. Justru dengan adanya perkembangan teknologi saat ini penerapan teknologi seperti sistem penunjukan majelis hakim secara otomatis (Smart Majelis) untuk meminimalisir potensi korupsi perlu dilakukan.
Selain itu, sebenarnya masih ada cara sederhana yang sering diabaikan. Cara sederhana yang dimulai dari proses perekrutan hingga pembinaan calon hakim yang benar-benar berkualitas dan berintegritas. Hentikanlah praktek-praktek penerimaan dengan alasan kedekatan, kenalan, latar belakang keluarga apalagi penyogokan. Justru hal-hal kecil ini yang akan melahirkan mafia peradilan. Pilihlah insan-insan yang benar-benar beriman, kuat jiwanya dan kuat raganya, dan suguhkan dengan teladan-teladan yang inspiratif. Kita butuh sosok-sosok seperti Artidjo Alkostar. (Untuk Artidjo Alkostar akan dibahas dalam tulisan selanjutnya yang berjudul “Merindukan Sosok Artidjo Alkostar”). See you…
Editor: Gilang Ananda, S.Kom
Referensi
- Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
- Hukumonline.com. (2025). “Bongkar Skandal Hakim, Saatnya Bersih-Bersih Lembaga Peradilan.” https://www.hukumonline.com/berita/a/bongkar-skandal-hakim–saatnya-bersih-bersih-lembaga-peradilan-lt67fd0f9c03fd8/?
- Tempo.co. (2025). “Tiga Hakim Jadi Tersangka Suap di Vonis Lepas Korupsi CPO.” https://www.tempo.co/hukum/awal-terungkapnya-ketua-pn-jaksel-jual-beli-vonis-korupsi-minyak-goreng-1231344?
- Mahkamah Agung RI. (2025). “Sikap Mahkamah Agung Terhadap Dugaan Suap atau Gratifikasi Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.” https://www.mahkamahagung.go.id/id/berita/6711/sikap-mahkamah-agung-terhadap-dugaan-suap-atau-gratifikasi-tindak-pidana-korupsi-pada-pengadilan-negeri-jakarta-pusat?
- Soeharsono, E. (2021). Kelayakan Hukuman Mati bagi Pelaku Korupsi dalam Perspektif Hukum dan HAM. Jurnal Ilmu Hukum.