Merindukan Sosok Artidjo Alkostar

Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.

Akhir-akhir ini integritas hakim sebagai “wakil Tuhan” kembali menjadi sorotan tajam publik. Belum reda “keterkejutan” publik terhadap vonis bebas yang diberikan hakim terhadap terdakwa kasus pembunuhan Ronald Tannur yang diduga melibatkan suap kepada tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya, muncul kasus suap dalam dalam ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) yang menyeret beberapa hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan agar memberikan putusan lepas kepada terdakwa. Kondisi ini benar-benar menciderai rasa keadilan dan makna panggilan “wakil Tuhan”.

Istilah “wakil Tuhan” atau “Yang Mulia” bukanlah panggilan yang bisa diberikan kepada setiap atau sembarangan orang. Penyebutan ini pada hakikatnya menunjukkan kedudukan hakim yang terhormat dibandingkan profesi atau jabatan lainnya. Padahal sebenarnya sebutan “wakil Tuhan” ini tidak pernah diatur di dalam aturan manapun. Dalam Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman hanya menjelaskan setiap putusan hakim harus mencantumkan irah-irah “demi keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Irah-irah ini menggarisbawahi bahwa tanggung jawab hakim tidak hanya kepada hukum dan masyarakat, tetapi kepada Tuhan.

Hakim memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Mereka diberi kuasa untuk memutuskan perkara. Setiap orang yang berperkara harus menghormati putusannya. Peran mulia ini menjadikan hakim seakan bertindak sebagai wakil Tuhan dalam menegakkan kebenaran dan keadilan, sehingga disebut “Yang Mulia” atau officium nobile.

Sumber: https://id.wikipedia.org/wiki/Artidjo_Alkostar

Di tengah buramnya wajah penegakan hukum Indonesia, sosok almarhum Artidjo Alkostar kembali menjadi simbol kerinduan publik akan penegak hukum yang jujur dan tak tergoyahkan. Dalam sejarah peradilan Indonesia, tak banyak tokoh yang mampu menebar rasa gentar sekaligus hormat hanya dengan menyebut namanya. Salah satunya adalah almarhum Prof. Dr. Artidjo Alkostar, S.H., LL.M. Beliau adalah sosok Hakim Agung yang dikenal karena integritas dan keberaniannya dalam menegakkan keadilan, terutama bagi pelaku korupsi.

Mengenal Artidjo Alkostar

Artidjo Alkostar lahir di Situbondo, Jawa Timur, pada 22 Mei 1948. Sebenarnya dia bukan hanya hakim, tetapi juga pengacara dan akademisi hukum Indonesia berasal dari keluarga sederhana yang memegang teguh nilai kejujuran dan religiusitas. Setelah menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Jawa Timur, Artidjo melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta dan lulus tahun 1976.

Semasa kuliah, Artidjo sudah menunjukkan ketertarikannya terhadap dunia keadilan, hak asasi manusia, dan pembelaan terhadap kaum lemah. Ia dikenal sebagai mahasiswa yang kritis, sederhana, dan aktif dalam kegiatan intelektual. Untuk memperdalam keilmuannya, ia juga mengikuti program lanjutan di Northwestern University School of Law, Chicago, Amerika Serikat. Disertasinya mengenai pengadilan hak asasi manusia dalam sistem peradilan di Indonesia dan berhasil lulus tahun lulus tahun 2002.

Sebelum bergabung dengan Mahkamah Agung, Artidjo dikenal sebagai Advokat dan aktivis hak asasi manusia. Ia pernah menjabat sebagai Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta dan aktif membela rakyat kecil yang tertindas oleh ketidakadilan hukum. Pada masa Orde Baru, keberaniannya membela korban pelanggaran HAM membuatnya dikenal luas sebagai pejuang hukum yang independen.

Pada tahun 2000, Artidjo Alkostar diangkat menjadi Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia. Selama hampir dua dekade masa pengabdiannya, ia menangani lebih dari 19.000 perkara, termasuk 842 kasus korupsi. Artidjo dikenal karena keberaniannya memperberat hukuman bagi para pelaku korupsi, terlepas dari tekanan politik maupun sosial. Ia dijuluki oleh media dan kalangan profesional sebagai “mimpi buruk para koruptor” karena reputasinya yang tak pernah kompromi terhadap pelanggar hukum.

Sumber: https://nasional.kompas.com/read/2018/05/31/11482391/artidjo-alkostar

Ada sejumlah kasus besar yang mempertegas reputasinya antara lain: kasus korupsi Angelina Sondakh (korupsi kasus Wisma Atlet) yang hukumannya diperberat, kasus suap Akil Mochtar (mantan Ketua Mahkamah Konstitusi yang terjerat kasus suap) dan kasus Anas Urbaningrum (korupsi proyek Hambalang). Dengan keberaniannya itu dia dijuluki berbagai gelar seperti “algojo koruptor”, “hakim pemutus maut”, dan “mimpi buruk bagi koruptor”.

Setelah pensiun dari Mahkamah Agung pada tahun 2018, Artidjo tidak berhenti mengabdi untuk bangsa. Ia kemudian diangkat sebagai anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) periode 2019–2023. Di lembaga ini, ia tetap menunjukkan ketegasan dan komitmennya terhadap pemberantasan korupsi, meski kondisi kesehatannya mulai menurun. Artidjo Alkostar wafat pada 28 Februari 2021 di Jakarta akibat komplikasi penyakit paru-paru dan jantung. Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, terutama bagi mereka yang mendambakan hadirnya sosok penegak hukum yang bersih, tegas, dan bermoral tinggi.

Teladan bagi Generasi Penegak Hukum

Di tengah kondisi lembaga peradilan yang kerap diterpa isu suap dan degradasi moral, sosok Artidjo tetap menjadi mercusuar moral yang menerangi jalan panjang perjuangan hukum di Indonesia. Ssosok ini yang sangat dibutuhkan dalam sistem peradilan Indonesia saat ini. Banyak warisan keteladan moral yang ditinggalkannya. Artidjo Alkostar membangun reputasinya sebagai hakim dengan integritas absolut. Ia menolak segala bentuk lobi, suap, dan intervensi. Bahkan, di depan pintu ruang kerjanya di Mahkamah Agung, terpasang tulisan tegas yang berbunyi larangan menemui dirinya untuk membicarakan perkara, “Tidak menerima tamu yang ingin membicarakan perkara”. Artidjo terpaksa memasang tulisan itu karena banyak tamu yang datang menawarkan uang dan tawaran-tawaran menggoda lainnya.

Sumber: https://sahardjo.com/artidjo-alkostar/

Salah satu pengalaman yang sangat mengejutkan bagi Artidjo terjadi ketika seorang pengusaha asal Surabaya mendatangi ruang kerjanya dan secara terang-terangan berkata, “Pak Artidjo, ini uang, yang lain sudah.” Artidjo begitu terkejut dengan keberanian dan keterusterangan sikap tersebut. Tanpa berpikir panjang, ia langsung merespons, “Saya merasa sangat terhina dengan ucapan Anda. Itu tidak pantas Anda katakan. Silakan keluar dari ruangan ini sebelum saya benar-benar marah. Anda orang Jawa Timur, begitu juga saya.” Mendengar reaksi keras itu, sang pengusaha pun buru-buru pergi. Bagi Artidjo, penolakannya bukanlah karena ingin dianggap suci, melainkan karena ia menyadari betapa rentannya manusia terhadap godaan. Jika tawaran seperti itu diterima sekali saja, kebiasaan buruk akan tumbuh dan mencoreng kehormatan seorang hakim.

Setidaknya ada beberapa nilai-nilai moral yang harus diteladani dari sosok Artidjo Alkostar. Pertama, integritas absolut, dimana dia menolak suap, gratifikasi, dan intervensi apapun. Kedua, hidup sederhana. Dia tidak pernah tergoda oleh kemewahan atau gaya hidup hedonis. Ketiga, selalu memutus perkara dengan mempertimbangkan rasa keadilan, bukan sekadar mengikuti teks hukum secara kaku. Keempat, walau menjabat tinggi, ia tetap hidup sederhana dan rendah hati. Ia tidak silau oleh kekuasaan, tidak tergoda oleh materi, dan tidak tunduk pada tekanan. Keberanian moral itulah yang menjadikan namanya harum hingga akhir hayat. Ia mengingatkan kita bahwa hukum bukan sekadar teks dalam pasal, tetapi sebuah komitmen nurani untuk melindungi kebenaran dan menjunjung tinggi keadilan.

Artidjo pernah berkata, “Hidup ini sangat singkat untuk berkhianat pada nurani.” Kalimat itu kini menjadi warisan moral yang abadi. Di tengah kondisi hukum yang kerap buram, suara nurani itulah yang seharusnya membimbing setiap langkah aparat penegak hukum. Karena pada akhirnya, keadilan bukan hanya milik penguasa, tetapi hak setiap warga negara yang merindukan kebenaran ditegakkan dengan tanpa takut dan tanpa pamrih.

Artidjo adalah simbol perlawanan terhadap korupsi dan ketidakadilan. Kerinduan terhadap sosok seperti Artidjo juga menjadi refleksi akan krisis keteladanan dalam sistem hukum di Indoensia hari ini. Banyak aparat penegak hukum yang kehilangan arah, terjebak dalam pragmatisme dan kepentingan sesaat. Ketiadaan figur yang menjadi panutan menjadikan integritas sebagai barang langka, bahkan dalam lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjaga moral bangsa. Dalam konteks itu, Artidjo tidak hanya dikenang sebagai penegak hukum, tapi juga sebagai teladan etika dan keberanian. Kehilangannya bukan hanya meninggalkan duka, tetapi juga menyisakan kerinduan akan kehadiran penegak hukum yang bersih, berani, dan berdedikasi sepenuh hati.

Editor: Gilang Ananda, S.Kom

Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
  2. Mahkamah Agung Republik Indonesia, “In Memoriam Artidjo Alkostar: Pendekar Hukum Berdarah Madura,” 2021.
  3. Tempo.co, “Artidjo Alkostar: Sang Pendekar Hukum yang Ditakuti Koruptor,” 2021.
  4. Musy’af, Haidar. (2017). Sogok Aku Kau Kutangkap: Novel Biografi Artidjo Alkostar. Tanggerang: Imania
  5. Basri, Faisal H dan Haris Munandar. (2019). Untuk Republik: Kisah-Kisah Teladan Kesederhanaan Tokoh Bangsa. Jakarta: Indonesia Research and strategic analysis

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri