Penulis: Anggun Dwi Ramadhani (2551183)
Makan Bergizi Gratis atau kerap disingkat menjadi MBG menjadi pembahasan yang tidak pernah ada habisnya sejak diluncurkan oleh Presiden kita, Bapak Prabowo Subianto, serta wakilnya, Gibran Rakabuming Raka.
Sebenarnya tidak ada masalah dari program MBG ini. Kenapa? Karena program ini menjadi faktor penting bagi siswa-siswi untuk bisa merasakan makanan sehat. Selain itu, uang jajan mereka bisa ditabung atau digunakan untuk membeli barang yang lebih bermanfaat.
Namun, program makan siang gratis ini juga sering menjadi topik pembicaraan. Ada yang menyoroti kasus makanan yang pernah beracun, atau isu-isu negatif lain yang beredar. Meski begitu, tak sedikit pula siswa-siswi yang justru bersyukur dengan adanya program tersebut.
Jadi, sebenarnya siapa sih yang salah?
Gambar 1. Presiden Prabowo Subianto memantau pelaksanaan program Makan Bergizi Gratis di SDN 1 dan SDN 2 Kedung Jaya, Bogor, Jawa Barat, Senin (10/2/2025), Sumber: CAN Indonesia
Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang resmi diluncurkan pada 6 Januari 2025 terus menjadi sorotan publik. Program ini pada dasarnya membawa niat baik, yaitu meningkatkan kualitas gizi anak sekolah, memberdayakan UMKM, serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, dalam perjalanannya muncul kritik dan persoalan yang tidak bisa diabaikan.
Pada 22 September 2025, dokter sekaligus ahli gizi Tan Shot Yen menyoroti menu MBG yang dinilai kurang sesuai dengan karakter pangan Indonesia. Ia menekankan bahwa burger, spageti, hingga bakmi bukanlah makanan yang berasal dari bahan pangan lokal, sehingga berpotensi menjauhkan anak-anak dari kearifan pangan nusantara.

Gambar 2. Dr. Tan Shot Yen saat menghadiri rapat dengar pendapat (RDP) Komisi IX DPR RI pada Senin (23/9/2025) (TVR Parlemen), Sumber: Netralnews.com
Selain kritik menu, kasus keracunan juga menambah catatan serius dalam program ini. Pada 22 April 2025, sebanyak 30 siswa SMP PGRI Cianjur dirawat di RSUD Sayang setelah diduga keracunan dari menu MBG. Insiden serupa kembali terjadi pada 25 September 2025 di SDN Taruna Bhakti, Cianjur. Menurut Kabid Humas Polda Jawa Barat, Kombes Hendra Rochmawan, para siswa mengalami mual, pusing, dan muntah setelah menyantap ayam goreng tepung, kentang goreng, sayur buncis, tempe goreng, dan pisang.

Di media sosial, masyarakat terbelah dalam menyikapi persoalan ini. Ada yang membela pekerja lapangan karena dianggap sudah berjuang keras meski kelelahan menyiapkan ribuan porsi sarapan. Namun ada juga yang menilai bahwa bagaimanapun mereka tetap harus bekerja sesuai SOP, sebab ini menyangkut kesehatan ribuan siswa.
Di sisi lain, sebagian warganet menyoroti pejabat terkait, bahkan hingga presiden, karena program ini adalah kebijakan nasional. Menurut pandangan tersebut, jika ada masalah di lapangan, tanggung jawab utama bukan hanya pada pekerja, tetapi juga pada pejabat pelaksana dan pengawas program. Presiden sebagai penggagas tentu punya tanggung jawab besar memastikan bahwa program berjalan dengan sistem yang ketat, aman, dan benar-benar berpihak pada anak-anak, bukan sekadar pencitraan.
Pada akhirnya, MBG adalah program dengan niat baik yang perlu dijaga kualitas dan pengawasannya. Kritik ahli gizi, insiden keracunan, serta perdebatan publik menunjukkan bahwa niat baik saja tidak cukup pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi berlapis harus diperkuat. Sebab, ini bukan hanya soal memberi makan gratis, tetapi soal menjaga kesehatan dan masa depan generasi penerus bangsa.
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi


