Penulis: Nadia Carolina Weley, S.H., M.H., Gilang Ananda, S.Kom.
Beberapa waktu terakhir, media sosial ramai memperbincangkan tren penggunaan kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) untuk menghasilkan gambar atau animasi bergaya Studio Ghibli. Studio animasi legendaris asal Jepang yang dikenal lewat karya-karya seperti Spirited Away, My Neighbor Totoro, hingga Princess Mononoke. Hasil buatan AI yang meniru gaya visual khas Ghibli memang memukau secara teknis. Namun, di balik kekaguman itu, muncul gelombang kritik tajam dari para seniman, pegiat seni, dan penggemar sejati (Tempo, 2025).
Sumber: Studio-Ghiblis-One-Final-Hayao-Miyazaki-scaled.jpeg (2560×1440)
Fenomena ini menunjukkan pergeseran besar dalam dunia seni dan kekayaan intelektual, berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Hak moral pencipta, seperti Pada Pasal 5 ayat (1) UU Hak Cipta yang berisi mengenai Hak Moral dengan memberikan credit berupa menggunakan nama asli atau nama samarannya tetap melekat meskipun karyanya diolah oleh teknologi seperti AI. Maka, tindakan meniru gaya visual Ghibli tanpa izin dapat melanggar hak moral pencipta. Teknologi tidak menghapus kewajiban hukum untuk menghormati hak cipta.
Kritik utama datang dari aspek etika dan penghargaan terhadap karya asli. Studio Ghibli dikenal sebagai simbol kerja keras, dedikasi, dan sentuhan manusia dalam setiap detil animasinya. Hayao Miyazaki, pendiri Ghibli, bahkan secara terbuka menyatakan penolakannya terhadap seni yang sepenuhnya dihasilkan oleh mesin, menyebutnya “tidak manusiawi” dalam salah satu wawancara terkenalnya. Sehingga, ketika AI mulai mereplikasi gaya visual Ghibli, banyak pihak merasa hal itu sebagai bentuk pelecehan terhadap visi dan prinsip yang dibangun Miyazaki dan timnya selama puluhan tahun (Gatra, 2025).
Tak hanya soal etika, banyak seniman merasa keberadaan AI merampas ruang kreatif yang seharusnya menjadi tempat eksplorasi dan ekspresi manusia. Alih-alih mengapresiasi proses penciptaan yang kompleks dan personal, publik kini lebih terpukau pada kecepatan dan kemudahan AI dalam “meniru”. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa nilai kerja keras dan orisinalitas semakin terpinggirkan. Di sisi lain, ada juga yang melihat tren ini sebagai bagian tak terhindarkan dari kemajuan teknologi. Beberapa berpendapat bahwa AI dapat menjadi alat bantu yang sah untuk eksplorasi kreatif baru, selama digunakan dengan etika yang jelas, misalnya tidak mengklaim karya AI sebagai milik pribadi jika ia terinspirasi langsung dari gaya seniman lain.
Sumber: ‘An insult to life itself’: Studio Ghibli’s Hayao Miyazaki condemns AI art
Jika karya AI hanya digunakan untuk eksplorasi pribadi tanpa dipublikasikan sebagai karya asli atau untuk tujuan komersial, risikonya relatif kecil. Namun, jika sudah didistribusikan atau dijual tanpa izin, maka jelas melanggar hak ekonomi pencipta sesuai Pasal 9 UU Hak Cipta yang berbunyi, “(1) Pencipta atau Pemegang Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 memiliki hak ekonomi untuk meiakukan: a. penerbitan ciptaan; b. Penggandaan ciptaan dalam segala bentuknya; c. penerjemahan ciptaan; d. pengadaplasian, pengaransemenan, pentransformasian ciptaan; e. Pendistribusian ciptaan atau salinannya; f. pertunjukan ciptaan; C. pengumuman ciptaan; h. komunikasi ciptaan; dan i. penyewaan ciptaan.”.
Bahkan, jika terbukti dilakukan secara sengaja untuk memperoleh keuntungan, pelaku bisa dijerat Pasal 113 ayat (2) yang berisikan, “Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Penggunaan Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/atau pidana denda” dan (4) yang membahas mengenai, “Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah).” UU Hak Cipta dengan ancaman penjara hingga 10 tahun atau denda hingga Rp 4 miliar. Ini berlaku meskipun ciptaan dihasilkan sebagian atau seluruhnya oleh AI.
Sumber: generate by ChatGPT.com
Namun, perdebatan memuncak ketika beberapa pengguna media sosial mulai menyebarkan karya AI bergaya Ghibli tanpa memberikan kredit atau konteks yang tepat, seolah itu karya asli. Beberapa bahkan menyematkan nama-nama karakter Ghibli atau judul film dalam caption, memperparah kesan bahwa ini adalah hasil kerja Studio Ghibli itu sendiri. Lebih parahnya lagi peluang ini dimanfaatkan oleh beberapa oknum tak bertanggung jawab sebagai ladang untuk meraup keuntungan. Buktinya beberapa waktu lalu ditemukan di beberapa platform e-commerce, terdapat oknum-oknum yang menjual “karya seni” hasil AI seolah itu adalah buatan mereka dengan harga miring. Hal ini jelas merupakan sebuah penghinaan, karena hilangnya respect dan penghormatan terhadap pemilik asli karya seni tersebut (Kumparan, 2025).
Fenomena ini menyoroti pentingnya regulasi dan edukasi terkait penggunaan AI dalam seni. Tanpa kesadaran kolektif dan penghormatan terhadap hak cipta, AI justru berpotensi merusak ekosistem seni yang seharusnya menghargai proses, bukan hanya hasil akhir. Penggunaan AI dalam seni memang tak bisa dihindari, namun harus dibarengi dengan etika, transparansi, dan penghormatan terhadap para kreator. Studio Ghibli bukan sekadar gaya visual, tapi juga filosofi dan jiwa yang tak dapat diduplikasi begitu saja oleh mesin. Urgensi pengaturan AI di Indonesia menjadi sangat nyata. Saat ini, belum ada kerangka hukum khusus yang mengatur karya yang dihasilkan oleh AI di Indonesia, baik terkait kepemilikan hak cipta maupun tanggung jawab hukum. Negara-negara seperti Uni Eropa telah meluncurkan Undang-Undang Kecerdasan Buatan Uni Eropa (European Union Artificial Intelligence Act/AI ACT) yang mengatur transparansi, akuntabilitas, dan batasan penggunaan AI untuk mencegah pelanggaran hak cipta. Indonesia perlu segera merumuskan kebijakan serupa yang menjelaskan batas-batas etis dan legal penggunaan AI dalam seni dan kekayaan intelektual. Tanpa regulasi yang jelas, ketidakpastian hukum akan terus terjadi, yang berpotensi merugikan pencipta manusia sekaligus menghambat perkembangan teknologi yang bertanggung jawab.
Editor: Jaya Ridho Nugroho, S.Kom
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.
- European Union. (2024). Artificial Intelligence Act. European Parliament and Council.
- Gatra, S. (2025). AI Ghibli dan pelindungan hak cipta seniman. Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2025/04/06/074618665/ai-ghibli-dan-pelindungan-hak-cipta-seniman?page=all
- Geti.id. (2025). Mengapa tren AI gaya Ghibli viral? Diakses dari https://geti.id/pro-dan-kontra-tren-ai-gaya-ghibli-antara-inovasi-dan-etika/
- Kumparan.com. (2025). Seniman kritik foto AI ala Studio Ghibli, ChatGPT: Tabrak hak cipta, tak beretika. Diakses dari https://kumparan.com/kumparantech/seniman-kritik-foto-ai-ala-studio-ghibli-chatgpt-tabrak-hak-cipta-tak-beretika-24leaDr597E/full
- Tempo.co. (2025). Kontroversi tren Ghiblifikasi dan komentar Hayao Miyazaki. Diakses dari https://www.tempo.co/digital/chatgpt-kontroversi-tren-ghiblifikasi-dan-komentar-hayao-miyazaki-1225800