Penulis: Nadia Carolina Weley, S.H., M.H.
[Batam, 18 Maret 2025] – OCSEA (Online Child Sexual Exploitation and Abuse) merupakan bentuk kekerasan terhadap anak yang semakin mengkhawatirkan di era digital saat ini. Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), tercatat pada rentang Januari hingga Juni 2024, terdapat 7.842 kasus kekerasan terhadap anak dengan 5.552 korban anak perempuan dan 1.930 korban anak laki-laki, di mana kasus kekerasan seksual menempati urutan pertama dari jumlah korban terbanyak sejak tahun 2019 sampai tahun 2024 (KemenPPPA, 2024).
Dunia maya juga kembali dihebohkan dengan kasus child grooming yang menimpa seorang bocah berusia 12 tahun. Kasus ini mencuat setelah tangkapan layar percakapan bernada seksual antara pria dewasa dan anak tersebut viral di media sosial (Prasetyo, 2024). Modus operandi para predator kini kian canggih, memanfaatkan game online Mobile Legends:Bang Bang sebagai medium pendekatan kepada anak-anak. Mereka memanfaatkan fitur dalam game seperti pemberian ‘diamond’ atau hadiah virtual untuk menarik perhatian korban. Anak-anak yang merasa dihargai dan dimengerti pun akhirnya terjebak dalam komunikasi pribadi yang mengarah pada eksploitasi.
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), Ratna Susianawati, menyatakan bahwa laporan terkait child grooming dan pornografi anak semakin meningkat dalam beberapa bulan terakhir. Maraknya penggunaan gawai di kalangan anak tanpa pengawasan menjadi salah satu faktor utama. Menurut Ratna, para pelaku memanfaatkan media sosial dan game online untuk membangun kepercayaan korban dengan identitas palsu yang menarik. “Ini menjadi tantangan besar karena media digital bergerak sangat cepat dan tidak mudah dibendung,” ujarnya di Jakarta, Jumat (3/5/2024).
Sumber: Image Generated by AI (chatgpt.com)
Fenomena cyber child grooming melalui game online merupakan bentuk eksploitasi seksual terhadap anak yang semakin marak terjadi. Dalam hukum Indonesia, perbuatan ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 ayat (1) yang berbunyi, “(1) Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum.” melarang penyebaran konten bermuatan asusila serta eksploitasi seksual terhadap anak melalui media elektronik. Sanksi bagi pelanggar ditegaskan dalam Pasal 45 ayat (1) yang berbunyi, “Setiap Orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyiarkan, mempertunjukkan, mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/ atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan untuk diketahui umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rpl.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)” Perubahan dalam UU ITE terbaru menegaskan bahwa eksploitasi anak dalam ranah digital, termasuk melalui game online, merupakan tindakan yang dapat ditindak secara tegas oleh aparat penegak hukum.
Sanksi lebih lanjut dapat ditemukan dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, khususnya Pasal 14, yang mengatur tentang “Setiap Orang yang tanpa hak: a. melakukan perekaman dan/ atau mengambil gambar atau tangkapan layar yang bermuatan seksual di luar kehendak atau tanpa persetqjuan orang yang menjadi objek perekaman atau gambar atau tangkapan layar; b. mentransmisikan informasi elektronik dan/ atau dokumen elektronik yang bermuatan seksual di luar kehendak penerima yang ditujukan terhadap keinginan seksual; dan/atau c. melakukan penguntitan dan/ atau pelacakan menggunakan sistem elektronik terhadap orang yang menjadi obyek dalam informasi/dokumen elektronik untuk tujuan seksual, dipidana karena melakukan kekerasan seksual berbasis elektronik, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”.
Sumber: Image Generated by AI (chatgpt.com)
Dari perspektif tata kelola sistem elektronik, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik tetap menjadi dasar hukum yang mengatur kewajiban platform digital dalam mencegah konten berbahaya. Pasal 5 yang mengharuskan penyelenggara sistem elektronik untuk menjaga keamanan data pengguna, dimana pasal ini berbunyi sebagai berikut, “(1) Penyelenggara Sistem Elektronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memuat Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (2) Penyelenggara Sistem Elekronik wajib memastikan Sistem Elektroniknya tidak memfasilitasi penyebarluasan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilarang sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. (3) Ketentuan mengenai kewajiban Penyelenggara Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri”.
Oleh karena itu, semua pihak—baik pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, maupun keluarga—memiliki peran penting dalam menciptakan ekosistem digital yang aman bagi anak. Perlindungan anak di ruang digital tidak bisa dibebankan hanya pada satu pihak, melainkan merupakan tanggung jawab bersama. Pemerintah perlu memperkuat penegakan hukum melalui regulasi yang tegas seperti UU ITE, Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dan Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronikuntuk menindak tegas pelaku cybergrooming. Di lain sisi, orang tua dan keluarga wajib mengawasi serta membimbing anak dalam menggunakan teknologi secara bijak. Lembaga pendidikan juga berperan penting dalam memberikan literasi digital dan edukasi tentang bahaya eksploitasi online. Komunikasi terbuka dengan anak juga harus terus dibangun agar mereka merasa aman untuk melaporkan hal-hal mencurigakan. Kolaborasi semua elemen masyarakat inilah yang menjadi kunci untuk memutus rantai kejahatan cybergrooming di dunia maya.
Editor: Gilang Ananda, S.Kom
Referensi:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
- Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual
- Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik
- Prasetyo, D. A. (2024). Viral Kasus Child Grooming via Chat Game Online, KemenPPPA Soroti Ini. Diakses pada https://health.detik.com/berita-detikhealth/d-7324407/viral-kasus-child-grooming-via-chat-game-online-kemenpppa-soroti-ini
- Kementerian Pemberdayaan Perempuan Dan Perlindungan Anak. (2024). Kemen PPPA: Resiliensi Digital Cegah Anak Menjadi Korban Kekerasan Seksual Online. Diakses pada https://kemenpppa.go.id/page/view/NTI4NA==