Dilema Cuti Haid: Dijamin Undang-Undang, Terhapus di Kantor

Penulis: Hanifah Ghafila Romadona, S.H., M.H.

[Batam, 24 Maret 25] – Perempuan menempati hampir setengah dari populasi dunia, dengan kontribusi besar di dunia kerja global. Berdasarkan data UN World Population Prospect 2023, populasi perempuan dunia mencapai 4 miliar jiwa atau 49,75% dari total penduduk. Di sektor ketenagakerjaan, perempuan mencakup 47,7% tenaga kerja global, namun ironisnya, 42% di antaranya pernah mengalami diskriminasi gender di tempat kerja. Kodrat biologis perempuan seperti menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, hingga menopause sering kali menjadi tantangan tersendiri di lingkungan kerja yang masih bias gender. Meski demikian, kemampuan kerja perempuan sejatinya setara dengan laki-laki, sehingga penting bagi dunia usaha untuk memperhatikan kebutuhan spesifik pekerja perempuan, salah satunya melalui pemberian hak cuti menstruasi. ( DJKN, 2024).

Haid atau menstruasi adalah proses alami yang dialami perempuan, namun gejalanya sangat menganggu untuk beraktivitas. Nyeri hebat pada perut bagian bawah, nyeri di bagian pinggul, punggung bawah hingga paha bagian dalam, merupakan gejala-gejala yang sering dialami oleh perempuan pada saat haid . Selain itu, gejala lainnya seperti sakit kepala, mual, hingga diare juga kerap terjadi. Banyak pekerja perempuan tidak mengetahui bahwa mereka memiliki hak untuk mengambil cuti saat mengalami haid, terutama pada hari pertama dan kedua. Tidak jarang pula, pekerja yang mengetahui hak ini merasa enggan menggunakannya karena malu atau khawatir dengan stigma di lingkungan kerja. Di sisi lain, sejumlah perusahaan di Indonesia masih belum sepenuhnya menerapkan aturan ini, meski sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Akibatnya, hak cuti haid seringkali dianggap ada di atas kertas, namun tidak dirasakan secara nyata oleh banyak pekerja perempuan.

Sumber: Image Generated by AI (chatgpt.com)

Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ketenagakerjaan, Indah Anggoro Putri, menegaskan bahwa hak cuti haid tetap berlaku meski Perppu Cipta Kerja tidak mencantumkan aturan spesifik terkait cuti ini. Hal tersebut dikarenakan Perppu Cipta Kerja tidak mengubah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan yang sudah mengatur hak cuti haid, tepatnya dalam Pasal 81 ayat 1 yang berbunyi yang berbunyi: “(1) Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.” Meski begitu, fakta di lapangan menunjukkan bahwa implementasi hak ini masih jauh dari ideal. (C. Andhika S., 2023)

Banyak perusahaan yang tidak memberikan hak cuti haid kepada pekerja perempuan, atau bahkan menggantinya dengan kompensasi finansial tanpa memberikan kemudahan akses bagi pekerja yang mengalami nyeri atau gangguan kesehatan saat haid. Dalam, Pasal 93 ayat (2) mengatur bahwa pengusaha tetap wajib membayar upah pekerja selama cuti haid, selama pekerja memenuhi ketentuan seperti bersedia bekerja, pekerjaan sudah diperjanjikan, dan ketidakhadiran bukan kesalahan pekerja. Apabila perusahaan melanggar, Pasal 186 UU Ketenagakerjaan mengatur sanksi pidana berupa penjara minimal 1 (satu) bulan hingga maksimal 4 (empat) tahun dan/ atau denda mulai Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 400.000.000,00 (Empat ratus juta rupiah).

Direktur Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Citra Referandum, menyebut banyak laporan pelanggaran hak cuti haid masuk ke lembaganya. Ia juga menegaskan bahwa hal ini ada dasar hukumnya, termasuk dalam UU no 7 tahun 1984 tentang kesehatan seksual reproduksi yang mengatur cuti ini termasuk dalam HAM, UU no 11 tahun 2005 tentang konvensi sosial budaya, CEDAW Convention tentang penghapusan diskriminasi pada perempuan,” ujar Citra kepada DW Indonesia. (C. Andhika S., 2023) Persoalan ini mencerminkan adanya kesenjangan antara norma hukum positif dengan praktik implementasinya di lapangan. Pasal 81 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 telah jelas menyatakan bahwa pekerja perempuan yang mengalami sakit saat haid berhak tidak bekerja pada hari pertama dan kedua masa haid, dengan pemberitahuan kepada pengusaha. Namun, lemahnya pengawasan dan kurangnya kesadaran perusahaan menyebabkan hak ini belum diterapkan secara menyeluruh. Sosialisasi terkait cuti haid pun masih sangat terbatas, sehingga pekerja perempuan tidak mendapat informasi secara memadai. Ketidakpatuhan sejumlah perusahaan terhadap aturan ini juga menunjukkan adanya kelemahan dalam penegakan hukum ketenagakerjaan.

Sumber: Image Generated by AI (chatgpt.com)

Di sisi lain, keberadaan Perppu Cipta Kerja menambah kekhawatiran sebagian masyarakat terkait kepastian hak pekerja perempuan. Meskipun pemerintah telah menyatakan bahwa ketentuan cuti haid tetap berlaku merujuk pada UU Ketenagakerjaan, akan tetapi karena tidak dicantumkan di dalam Perppu membuat aturan tersebut dikesampingkan. Tidak adanya penegasan ulang atau sanksi tegas terhadap perusahaan yang melanggar hak ini berpotensi membuat pelaksanaan cuti haid bersifat opsional di mata pengusaha. Akibatnya, sebagian perusahaan memilih untuk tidak memberikan hak ini kepada pekerja perempuan.

Cuti haid juga tidak dapat dilepaskan dari komitmen Indonesia terhadap prinsip non-diskriminasi, sebagaimana diatur dalam CEDAW Convention dan konvensi internasional lainnya yang telah diratifikasi Indonesia. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa hak cuti haid dihormati dan dilaksanakan secara merata di seluruh sektor pekerjaan. Pemerintah perlu memperkuat fungsi pengawasan ketenagakerjaan, memberikan sanksi tegas bagi perusahaan yang melanggar, serta meningkatkan edukasi dan sosialisasi kepada pekerja dan pengusaha mengenai pentingnya hak ini. Budaya kerja yang masih memandang cuti haid sebagai hal tabu atau beban produktivitas juga harus diubah melalui kampanye kesadaran yang berkelanjutan.

Di tingkat perusahaan, manajemen perlu menghapus stigma terhadap pekerja perempuan yang menggunakan hak cuti haid. Perusahaan seharusnya menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan mendukung kesehatan fisik maupun mental pekerjanya. Pekerja perempuan juga perlu didorong untuk lebih memahami hak-hak mereka serta tidak ragu berkomunikasi dengan pihak HRD. Harmonisasi antara regulasi yang jelas, pengawasan pemerintah yang kuat, dan budaya kerja yang suportif akan menjadi kunci agar hak cuti haid benar-benar dapat dinikmati oleh seluruh pekerja perempuan di Indonesia.

Editor: Gilang Ananda, S.Kom.

Referensi :

  1. Undang-Undang nomor 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan
  2. Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women)
  3. Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2005 adalah undang-undang yang mengesahkan Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
  4. C. Andhika S. (2023). Cuti Haid: Hak Pekerja Perempuan yang Seolah Ada dan Tiada. Diakses pada 24 Maret 2025 https://www.dw.com/id/cuti-haid-hak-pekerja-perempuan-yang-seolah-ada-dan-tiada/a-64443863#:~:text=%22Cuti%20haid%20itu%201%2D2,biasanya%20baru%20minta%20surat%20dokter.%22.
  5. Ridha Setiyati Muthmainnah. (2024). Cuti Menstruasi; Sebuah Kebijakan Responsif Gender.Diakses pada 24 Maret 2025 https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/17440/Cuti-Menstruasi-Sebuah-Kebijakan-Responsif-Gender.html.

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri