Penulis: Cut Nabilah Insyirah (2351039)
Kasus viral yang melibatkan Nikita Mirzani (NM) dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 31 Juli 2025 memicu perdebatan luas di masyarakat. Video yang tersebar menunjukkan beberapa jaksa perempuan berusaha memaksa Nikita mengenakan rompi tahanan setelah sidang, bahkan hingga memborgol kedua tangannya sebelum digiring ke mobil tahanan. Publik mempertanyakan, apakah tindakan itu memang bagian dari prosedur hukum, ataukah melampaui batas kewenangan seorang jaksa?

Sumber: chatgpt
Dalam konteks hukum, ada dua poin penting yang perlu dibahas: (1) batas kewenangan jaksa terkait penggunaan rompi tahanan, dan (2) perlindungan hak asasi terdakwa selama proses peradilan.
Batas Kewenangan Jaksa dalam Penggunaan Rompi Tahanan
Dalam hukum acara pidana Indonesia, jaksa memiliki kewenangan tertentu terhadap terdakwa yang berstatus tahanan. Hal ini diatur dalam Pasal 20 KUHAP, yang menyebutkan bahwa jaksa berhak melakukan penahanan atau meminta penahanan untuk menjamin kelancaran proses peradilan. Namun, yang perlu digarisbawahi, kewenangan jaksa terkait penggunaan atribut tahanan seperti rompi atau borgol tidak diatur secara tegas dalam KUHAP. Penggunaan atribut ini lebih bersifat administratif dan umumnya hanya untuk kepentingan keamanan serta memudahkan identifikasi tahanan. Artinya, tidak ada aturan yang memberi hak jaksa untuk memaksa terdakwa mengenakan rompi tahanan dengan kekerasan, apalagi setelah sidang berakhir dan tidak ada ancaman terdakwa melarikan diri atau mengganggu keamanan. Praktik ini berpotensi melanggar prinsip due process of law, yaitu prosedur hukum yang adil dan sesuai aturan. Selain itu, jaksa terikat dengan Kode Perilaku Jaksa (Peraturan Jaksa Agung RI Nomor PER-014/A/JA/11/2012)yang mewajibkan mereka menjaga martabat terdakwa, bersikap sopan, dan tidak melakukan tindakan yang merendahkan seseorang di hadapan publik. Tindakan pemaksaan yang dilakukan di depan kamera media dapat dianggap tidak etis dan melampaui batas kewenangan yang seharusnya dimiliki jaksa sebagai penuntut umum.
Perlindungan Hak Asasi Terdakwa dalam Proses Peradilan
Perlindungan hak asasi terdakwa dalam proses peradilan merupakan aspek fundamental yang tidak boleh diabaikan oleh aparat penegak hukum, termasuk jaksa, hakim, dan kepolisian. Hak-hak ini melekat pada setiap individu meskipun berstatus sebagai tahanan atau terdakwa, sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan rasa aman dari ancaman atau perlakuan yang merendahkan martabat manusia. Dalam konteks hukum acara pidana, asas praduga tak bersalah yang tertuang dalam Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman memberikan jaminan bahwa seseorang yang sedang diadili wajib dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, dalam praktiknya, sering kali terdakwa dihadapkan pada perlakuan yang dapat menimbulkan stigma negatif di mata publik, misalnya pemaksaan penggunaan rompi tahanan berwarna mencolok atau pemasangan borgol tanpa adanya urgensi keamanan yang jelas.

Sumber: chatgpt
Tindakan semacam ini berpotensi melanggar hak asasi terdakwa, termasuk hak atas rasa aman dan hak untuk diperlakukan secara manusiawi. UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara tegas melarang perlakuan yang merendahkan martabat manusia, baik secara fisik maupun psikologis. Apabila terjadi pelanggaran, terdakwa atau kuasa hukumnya memiliki hak untuk mengajukan pengaduan ke Komisi Kejaksaan sebagai bentuk pengawasan terhadap etika profesi jaksa, atau ke Komnas HAM jika tindakan tersebut dinilai sebagai pelanggaran hak asasi. Perlindungan hak terdakwa ini bukan hanya bagian dari pemenuhan formalitas hukum, melainkan juga esensi dari tercapainya keadilan yang berimbang antara kepastian hukum, kemanfaatan, dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam setiap proses peradilan di Indonesia. Dengan demikian, aparat penegak hukum wajib memastikan bahwa setiap langkah yang diambil tidak mengarah pada penghukuman sebelum vonis dijatuhkan, serta tidak menimbulkan perlakuan yang diskriminatif maupun merendahkan martabat terdakwa.
Kasus pemaksaan pemakaian rompi tahanan terhadap Nikita Mirzani (NM) menjadi sorotan karena memperlihatkan potensi penyalahgunaan kewenangan oleh jaksa. Dalam perspektif hukum, tidak ada dasar yang memberi wewenang kepada jaksa untuk memaksa penggunaan rompi tahanan dengan cara kasar, terutama jika tidak ada alasan keamanan yang mendesak. Selain itu, tindakan tersebut berpotensi melanggar hak asasi terdakwa yang dijamin oleh UUD 1945 dan UU HAM, serta bertentangan dengan prinsip praduga tak bersalah dan kode etik profesi jaksa. Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa penegakan hukum tidak hanya soal prosedur dan kewenangan aparat, tetapi juga tentang bagaimana menghormati hak manusia yang menjadi subjek hukum. Aparat penegak hukum, termasuk jaksa, dituntut untuk menjalankan tugas secara profesional, proporsional, dan tidak merendahkan martabat terdakwa, agar kepercayaan publik terhadap sistem peradilan tetap terjaga.
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Saputra, D., Perdana, A. S., & Murbawan, H. (2022). Peran Jaksa dalam Sistem Peradilan di Indonesia. Halu Oleo Law Review, 6(2), 218-237. https://holrev.uho.ac.id/index.php/journal/article/view/7
- Septiani, V., & Marfuatun, D. R. (2023). Urgensi Penguatan Peran Jaksa Penuntut Umum dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. KRAKATAU (Indonesian of Multidisciplinary Journals), 1(1), 9-14. http://jurnal.saburai.id/index.php/hkm/article/view/1059
- Sihaloho, A. P. (2025). Peran Jaksa Sebagai Dominus Litis Dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Kritik Terhadap Diferensiasi Fungsional Dalam RKUHAP). Integrative Perspectives of Social and Science Journal, 2(2 Maret), 1509-1517. https://ipssj.com/index.php/ojs/article/view/203
- Asvina, D. A., Moertiono, R. J., & Minin, A. R. (2025). Optimalisasi Peran Jaksa Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perikanan Pada Pelaksanaan Penuntutan. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 6(1), 151-156. https://pasca-umi.ac.id/index.php/jlp/article/view/1496
- Asvina, D. A., Moertiono, R. J., & Minin, A. R. (2025). Optimalisasi Peran Jaksa Dalam Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Perikanan Pada Pelaksanaan Penuntutan. Iuris Studia: Jurnal Kajian Hukum, 6(1), 151-156. https://jurnal.bundamediagrup.co.id/index.php/iuris/article/view/853
- Syafaat, M. A., Sutikno, A. Y. W., & Asiz, M. (2023). Peran Jaksa Pengacara Negara dalam Pemberian Bantuan Hukum di Kejaksaan Negeri Sorong. Equality Before The Law, 3(2). https://e-journal.unimudasorong.ac.id/index.php/Equalitybeforethelaw/article/view/459


