Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.
Pagi itu, 17 Agustus 1945, langit Jakarta belum sepenuhnya cerah. Di sebuah rumah sederhana di Pegangsaan Timur 56 Jakarta, dua lelaki kurus karena sakit dan lelah berdiri di hadapan bangsa: Soekarno dan Mohammad Hatta. Mereka memproklamasikan kemerdekaan yang lahir dari rahim penderitaan. Sebelum detik bersejarah itu, tanah ini telah menyerap darah jutaan pejuang yang gugur di medan perang, mendengar jeritan perempuan yang kehilangan suami, dan menyaksikan anak-anak yang tumbuh tanpa ayah karena ditembak atau disiksa penjajah. Kemerdekaan bukan datang seperti embun pagi yang lembut, ia lahir dari dentuman senjata, dari perut yang lapar, dari tubuh yang rebah tanpa nisan, dan dari keyakinan bahwa merdeka adalah harga mati.
Setahun kemudian, Bung Karno dalam pidatonya mengingatkan, “Kemerdekaan hanyalah jembatan emas. Di seberang jembatan itulah kita akan membangun masyarakat adil dan makmur” (Pidato 17 Agustus 1946, arsip Sekretariat Negara RI). Delapan puluh tahun telah berlalu. Kita telah berjalan di atas jembatan itu, tetapi harus jujur bertanya: sudahkah kita benar-benar sampai di seberang, atau masih terhenti di tengah, sibuk dengan perdebatan dan kepentingan sendiri, sementara rakyat di bawahnya terus berjuang melawan arus deras kemiskinan, ketidakadilan, dan pengkhianatan terhadap cita-cita kemerdekaan?

Sumber: chatgpt
Kemerdekaan yang Belum Selesai
Secara formal, kita telah bebas dari penjajahan fisik. Namun di balik bendera yang berkibar dan pidato kemerdekaan yang lantang, jutaan rakyat masih bergulat untuk sekadar bertahan hidup. Data Badan Pusat Statistik (BPS, Maret 2025) mencatat 23,85 juta jiwa atau 8,47% penduduk hidup di bawah garis kemiskinan. Angka ini hanyalah statistik, di baliknya masih ada jutaan anak yang putus sekolah, keluarga yang kesulitan memenuhi makan dan pasien yang menunda berobat karena biaya?
Generasi muda masih bergelut antara harapan dan kenyataan untuk masa depan mereka. Petani sulit mendapat pupuk-benih, hidup pas-pasan. Guru dan Dosen dihargai dengan upah yang rendah sementara banyak selebritis perusak moral dibayar mahal. Pengemudi ojek daring bergantung pada kebijakan aplikasi asing. Ibu-ibu rela antre beras murah, bahkan bekerja seperti lelaki. Lihatlah wajah lelah Ibu-Ibu yang antri beras murah, bahkan bekerja seperti lelaki. Banyak perempuan menjadi tenaga kerja di negeri orang disebut pahlawan devisa, namun pulang hanya tinggal nama.
Ironisnya, kekayaan nasional terkonsentrasi di tangan segelintir orang. Global Wealth Report (Credit Suisse, 2023) mencatat 1% penduduk terkaya menguasai lebih dari 46% total kekayaan Indonesia, sebagian besar terkumpul pada jejaring keluarga bisnis-politik yang sama selama puluhan tahun. Ketimpangan ini bukan hanya soal harta, tetapi juga penguasaan sumber daya alam. Sejak kemerdekaan, tanah subur, hutan tropis, tambang emas, nikel, batu bara, hingga ladang minyak yang seharusnya menjadi warisan kemakmuran rakyat justru dikuasai korporasi besar, banyak di antaranya bermitra atau dimiliki asing.

Sumber: chatgpt
Di Papua, emas dan tembaga telah digali selama puluhan tahun. Miliaran dolar mengalir keluar, tetapi kampung-kampung sekitar tambang tetap miskin: anak-anak berjalan tanpa alas kaki, fasilitas kesehatan minim, air bersih langka. Di Kalimantan, hutan yang dulu hijau berubah menjadi lubang tambang raksasa. Saat hujan, lubang itu menjadi danau beracun yang merenggut nyawa anak-anak yang berenang karena tak ada tempat bermain lain. Udara berdebu, air sungai tercemar, dan tanah tak lagi bisa ditanami.
Bagi rakyat di sekitar tambang, yang tersisa bukan kemakmuran, melainkan derita: kehilangan tanah leluhur, mata pencaharian, dan hak atas lingkungan yang sehat. Semua ini terjadi sementara sebagian kecil elite dan investor asing menikmati keuntungan dari bumi mereka. Ketimpangan ini tampak di jalan-jalan: mal mewah dan supercar berdampingan dengan kampung kumuh yang rawan banjir dan penyakit.
Jika kemerdekaan adalah hak yang sama bagi semua warga negara, mengapa kualitas hidup rakyat jelata dan elite politik-bisnis seperti hidup di dua republik yang berbeda? Apakah ini yang dimaksud Bung Karno ketika membicarakan “kemerdekaan yang penuh”, atau kita hanya merdeka di atas kertas, sementara nasib bangsa dikendalikan segelintir keluarga kaya?
Kejujuran juga menjadi barang mahal. Korupsi merajalela dan hukum kerap terasa tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Menurut, Transparency International (2024) Indonesia berada di peringkat 115 dari 180 negara dengan skor 34/100 dalam Corruption Perceptions Index yaitu turun dari skor 38 pada 2021. Mohammad Hatta pernah mengingatkan bahwa sekali lagi “Korupsi adalah musuh utama kemerdekaan” (Hatta, Memoir, 1979). Jika benar demikian, bukankah kita telah membiarkan musuh itu hidup terlalu nyaman di rumah sendiri?
Langkah Menuju 2045
Visi Indonesia Emas 2045 menggariskan mimpi besar menjadi negara maju dengan pendapatan tinggi, masyarakat yang adil, dan pemerintahan yang bersih. Namun, jarak menuju ke sana masih jauh. Pertumbuhan ekonomi memang relatif stabil di kisaran 5% per tahun (Bappenas, 2024), tetapi distribusi hasilnya belum merata. Investasi besar kerap hanya menguntungkan segelintir elite, sementara petani, nelayan, dan buruh masih berkutat pada upah rendah dan ketidakpastian hidup.

Sumber: chatgpt
Jika jembatan emas adalah simbol perjalanan menuju cita-cita bangsa, maka kita baru sampai setengahnya. Sisa bentang jembatan dipenuhi tantangan: korupsi yang membelit, kemiskinan yang mengakar, kesenjangan yang melebar, dan krisis moral yang membisu namun mematikan. Sisa perjalanan akan menentukan apakah kita benar-benar mampu memenuhi janji kemerdekaan atau terjebak di tengah, berhenti karena beban persoalan yang tak terselesaikan.
Menyeberangi jembatan emas membutuhkan komitmen kolektif. Pertama, kita perlu membangun sistem hukum yang bersih dan tegas, sehingga korupsi tidak lagi menjadi budaya yang diwariskan. Penegakan hukum harus berdiri di atas prinsip keadilan, tanpa pandang bulu. Kedua, pemerataan ekonomi harus menjadi prioritas, dengan fokus pada peningkatan kualitas pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial bagi kelompok rentan.
Ketiga, kita harus memulihkan moral publik melalui pendidikan karakter dan keteladanan pemimpin. Tidak cukup berbicara soal integritas; pemimpin di semua tingkatan harus menjadi teladan nyata. Keempat, partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan harus diperkuat, agar demokrasi tidak hanya prosedural, tetapi juga substantif.
Menjadi Penyeberang
Kemerdekaan adalah warisan, tetapi juga tanggung jawab. Kita tidak bisa hanya berdiri di tepi, memandang jembatan emas dari jauh sambil mengeluh tentang segala kekurangannya. Kita harus menjadi penyeberang yaitu mereka yang melangkah, berjuang, dan berkontribusi nyata.
Delapan puluh tahun lalu, generasi pendahulu berani melawan senjata dan kekuasaan kolonial demi memulai perjalanan di atas jembatan emas. Kini, tantangan kita berbeda, tetapi semangat yang dibutuhkan sama: keberanian melawan korupsi, ketidakadilan, kemiskinan, dan kemerosotan moral.
Di seberang jembatan emas itu, ada mimpi yang menunggu: Indonesia yang adil, makmur, dan bermartabat. Pertanyaannya, apakah kita akan terus menunda langkah, atau mulai menyeberang sekarang juga?
Editor: Ambarwulan, S.T.
- Badan Pusat Statistik. Persentase Penduduk Miskin Maret 2025 Turun Menjadi 8,47 Persen. Jakarta: BPS, 2025. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2025/07/01/1915/persentase-penduduk-miskin-maret-2025-turun-menjadi-8-47-persen.
- Bappenas. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025–2045: Menuju Indonesia Emas. Jakarta: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, 2024. https://perpustakaan.bappenas.go.id/public/uploads/files/rpjpn-2025-2045.pdf.
- Credit Suisse Research Institute. Global Wealth Report 2023. Zurich: Credit Suisse, 2023. https://www.credit-suisse.com/about-us/en/reports-research/global-wealth-report.html.
- Hatta, Mohammad. Untuk Negeriku: Sebuah Otobiografi. Jakarta: PT Tintamas Indonesia, 1979.
- Republik Indonesia. Pidato Presiden Soekarno, 17 Agustus 1946. Arsip Sekretariat Negara RI. https://www.setneg.go.id/view/index/pidato_presiden_soekarno_17_agustus_1946.
- Transparency International. Corruption Perceptions Index 2024. Berlin: Transparency International, 2024. https://www.transparency.org/en/cpi/2024.


