Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.
Stanza I
Indonesia tanah airku, tanah tumpah darahku
Di sanalah aku berdiri, jadi pandu ibuku
Indonesia kebangsaanku, bangsa dan tanah airku
Marilah kita berseru: “Indonesia bersatu!”
Hiduplah tanahku, hiduplah negeriku
Bangsaku, rakyatku, semuanya
Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya
Stanza II:
Indonesia tanah yang mulia, tanah kita yang kaya
Di sanalah aku berdiri untuk selama-lamanya
Indonesia tanah pusaka, pusaka kita semuanya
Marilah kita berdoa: “Indonesia bahagia!”
Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya
Bangsanya, rakyatnya, semuanya
Sadarlah hatinya, sadarlah budinya
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya
Stanza III:
Indonesia tanah yang suci, tanah kita yang sakti
Di sanalah aku berdiri menjaga ibu sejati
Indonesia tanah berseri, tanah yang aku sayangi
Marilah kita berjanji: “Indonesia abadi!”
Selamatlah rakyatnya, selamatlah putranya
Pulaunya, lautnya, semuanya
Majulah negerinya, majulah pandunya**
Untuk Indonesia Raya
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Tanahku, negeriku yang kucinta
Indonesia Raya, merdeka! merdeka!
Hiduplah Indonesia Raya

Sumber: chatgpt
Delapan dekade lebih Indonesia merdeka, dan setiap senin pagi anak-anak sekolah masih berdiri tegak memberi hormat kepada Sang Merah Putih sambil menyanyikan “Indonesia Raya”. Namun, sayangnya, banyak dari mereka bahkan para guru, pejabat, hingga orang tua tidak pernah tahu bahwa lagu kebangsaan tersebut sejatinya tidak hanya satu bait. Indonesia Raya ciptaan Wage Rudolf Soepratman sesungguhnya terdiri atas tiga stanza (bait) yang penuh makna, doa, dan cita-cita. Yang selama ini kita nyanyikan hanyalah bagian pertamanya saja yaitu sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
Stanza pertama yang kita hafal luar kepala berisi ungkapan cinta tanah air serta seruan persatuan bangsa. Tetapi dua stanza berikutnya justru menyimpan mutiara berharga yang semakin relevan melihat wajah bangsa hari ini.
Stanza kedua menuturkan doa agar tanah air subur lahir batin. “Suburlah tanahnya, suburlah jiwanya, bangsanya, rakyatnya…”, pesan yang begitu dalam tentang integritas, kesadaran budi, dan kejernihan batin bangsa.
Stanza ketiga lebih sakral lagi: “Indonesia tanah yang suci… tanah yang aku sayangi… marilah kita berjanji Indonesia abadi”. Sebuah ikrar bahwa kemerdekaan bukan sekadar bebas dari penjajah, melainkan menjaga kesucian negeri sebagai warisan abadi anak cucu. Coba rasakan, betapa jauh cita-cita ini dari kenyataan kemerdekaan.
Lalu mengapa bait kedua dan ketiga hilang dari ingatan bangsa? Sejak revolusi kemerdekaan, pemerintah memang menetapkan hanya stanza pertama sebagai versi resmi untuk kepentingan protokol kenegaraan. Alasan utamanya adalah demi kepraktisan upacara serta penyederhanaan untuk membangun kesadaran nasional awal. Baru pada tahun 2017 lalu, Pemerintah membuka tahun ajaran baru dengan menerapkan kebijakan bahwa lagu Indonesia Raya dengan menyanyikan tiga stanza tersebut dalam upacara tertentu. Namun, terlepas dari kebijakan itu, penyederhanaan yang selama ini berlangsung pelan-pelan telah mengubah pemaknaan kolektif.
Gesekan Pertama Indonesia Raya
Tak banyak yang ingat bahwa Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan bukan dalam bentuk nyanyian, melainkan gesekan biola. Lagu ini pertama kali diperdengarkan melalui permainan biola Wage Rudolf Soepratman dalam Kongres Pemuda II pada 28 Oktober 1928, hari yang kemudian dikenang sebagai lahirnya Sumpah Pemuda.
Wage Rudolf Soepratman sebenarnya adalah wartawan koran Sin Po yang ditugaskan untuk meliput Kongres Pemuda II. Namun ketika itu, niat W.R. Soepratman tidak terbatas pada meliput jalannya kongres, melainkan juga memperkenalkan ciptaannya, Indonesia Raya. Tanpa instruksi siapa pun, ia menggandakan notasi lagu tersebut dan membagikannya kepada para pimpinan organisasi pemuda.

Sumber: chatgpt
Sugondo Djojopuspito, selaku ketua Kongres Pemuda II, pada awalnya memberi izin agar lagu itu dinyanyikan pada waktu rehat. Akan tetapi, begitu ia menelaah liriknya lebih saksama, muncul kekhawatiran tindakan itu bisa memicu kemarahan pemerintah kolonial dan menggagalkan jalannya kongres. Sebagai langkah aman, Sugondo pun meminta agar lagu tersebut hanya dimainkan dalam bentuk instrumental. Jam istirahat tiba, Soepratman maju memainkan biolanya. Hadirin terperangah, banyak yang tersentuh mendengar gesekan nadanya. Itulah untuk pertama kalinya Indonesia Raya berkumandang.
Menjelang akhir Desember 1928, lagu tersebut kembali diperdengarkan pada acara pembubaran panitia Kongres Pemuda. Pada kesempatan itu, untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya ini diiringi paduan suara yang menandai saat pertama kalinya Indonesia Raya dinyanyikan secara lengkap. Dan untuk ketiga kalinya lagu Indonesia Raya dinyayikan pada pembukaan Kongres Partai Nasional Indonesia (PNI), tanggal 18–20 Desember 1929.
Seperti dicatat oleh Dwi Oktarina dalam esainya “Menelisik Indonesia Raya”, lagu ini sesungguhnya merupakan ekspresi perasaan nasional yang kemudian ditegaskan secara hukum melalui Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958. Dari sanalah Indonesia Raya memperoleh kedudukannya sebagai lagu kebangsaan, mengandung semangat dan tekad kemerdekaan yang terpahat dalam setiap larik liriknya.
Mencintai Tanpa Mengenali?
Di ruang kelas, anak-anak tidak pernah diajarkan bahwa lagu kebangsaan mereka sesungguhnya lebih kaya. Buku Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) hanya memuat satu stanza. Guru-guru pun banyak yang mengaku tidak hafal stanza kedua maupun ketiga. Di media sosial, rasa nasionalisme generasi muda hari ini lebih banyak ditumpahkan dalam bentuk konten lucu bertema merah putih, tetapi bukan dalam menghidupkan nilai historis yang terkandung dalam bait-bait lagu kebangsaan.
Inilah yang membuat kita patut bertanya: Apa artinya mencintai Indonesia, jika bahkan lagu kebangsaannya saja tidak kita kenali secara utuh? Nasionalisme tidak lahir hanya melalui seremoni pengibaran bendera, melainkan dari kesadaran mendalam tentang makna simbol kebangsaan itu sendiri.
Mengingatkan kembali tiga stanza Indonesia Raya bukan sekadar romansa sejarah. Ia adalah ajakan untuk menegakkan kembali ruh bangsa: integritas, kesadaran budi, kesucian tanah air, dan janji menjaga negeri sebagai warisan abadi. Ketika lirik asli ciptaan Soepratman berbunyi “Majulah negerinya… majulah pandunya”, ia sebenarnya merindukan sebuah bangsa yang memajukan jiwa para pemimpinnya, bukan sekadar infrastrukturnya.

Sumber: chatgpt
Di tengah gegap gempita slogan Indonesia Emas 2045, kita patut bercermin, sudahkah kita benar-benar memahami doa dan cita-cita pendiri bangsa? Ataukah kita justru terjebak dalam ritualisme tanpa makna? Jangan sampai Indonesia Raya tinggal menjadi lagu latar perayaan, sementara bangsa ini semakin kehilangan jati dirinya.
Sudah saatnya negara dan rakyat bergerak bersama. Pemerintah perlu mengembalikan kekayaan makna tiga stanza ini ke dalam kurikulum pendidikan dan ruang publik. Media nasional, musisi, dan konten kreator seharusnya menghidupkan kembali versi lengkapnya agar meresap ke generasi muda dalam bentuk yang kreatif. Dan kita sebagai rakyat, orang tua, pendidik, mahasiswa punya kewajiban sederhana namun bermakna, yaitu mengajarkan kembali lirik lengkap Indonesia Raya kepada anak-anak Indonesia, sambil menjelaskan makna di balik setiap katanya.
Mungkin tugas kita hari ini bukanlah menciptakan lagu kebangsaan baru, melainkan mengingat kembali yang lama, agar tiga bait doa untuk bangsa itu tidak hilang ditelan zaman. Sebab jika kita lupa pada Indonesia Raya yang kita nyanyikan, bagaimana mungkin kita menjaga Indonesia Raya yang kita diami?
Merdeka!!! Merdeka!!! Merdeka!!!
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Djojonegoro, Wardiman. Lagu Kebangsaan Indonesia Raya: Sejarah, Aransemen, dan Maknanya. Jakarta: Balai Pustaka, 2002.
- Oktarina, Dwi. “Menelisik Indonesia Raya.” Jurnal Kebudayaan dan Nasionalisme, Vol. 4, No. 2 (2019): 45–58.
- Tirto.id. “Lirik Lagu Indonesia Raya 3 Stanza: Makna & Sejarah Penciptanya.” Diakses dari https://tirto.id/lirik-lagu-indonesia-raya-3-stanza-makna-dan-sejarah-penciptanya-fYv8
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan.
- Pemerintah Republik Indonesia. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1958 tentang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.


