Ironi Perjuangan: Antara Aspirasi dan Aksi Kriminal

Penulis: Dava Rafikasya Tufa (2451109)

A person wearing a mask holding a sign

AI-generated content may be incorrect.

Sumber: ChatGPT

Hari ini, 29 Agustus 2025, dalam siaran langsung demonstrasi mengenai kenaikan tunjangan DPR. terlihat komentar yang berseliweran di media sosial berisi provokasi untuk menjarah toko etnis Tionghoa. Provokasi semacam ini menjadi “penumpang gelap” dalam aksi demonstrasi yang seharusnya fokus pada perjuangan rakyat. Demo yang pada dasarnya bertujuan menegakkan keadilan justru ternodai dengan narasi kriminal yang berbau rasisme.

Fenomena provokasi ini bukan hal baru. Ujaran kebencian dapat berbentuk hasutan, provokasi, atau penghinaan yang berlandaskan SARA, dan efeknya sangat berbahaya karena mampu menggerakkan massa menuju tindakan diskriminatif maupun kekerasan (Zulkarnain, 2020). Munculnya ujaran seperti “jarah toko etnis Tionghoa” di tengah demo membuktikan bahwa ruang digital kini menjadi medium efektif untuk menyulut kebencian.

Dari sisi hukum, provokasi semacam itu jelas dapat dijerat dengan berbagai aturan. Pasal 160 KUHP menegaskan bahwa siapa pun yang menghasut orang lain untuk melakukan tindak pidana dapat dipidana penjara hingga enam tahun. Pasal 362 KUHP mengatur tentang pencurian, yang termasuk di dalamnya adalah penjarahan. Pasal 406 KUHP mengatur tindak pidana perusakan barang. Selain itu, Pasal 28 ayat (2) UU ITE mengancam pidana bagi siapa saja yang menyebarkan ujaran kebencian berbasis SARA melalui media elektronik. Ditambah lagi, UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis memperkuat perlindungan terhadap kelompok etnis minoritas.

Secara sosial, kondisi ini berbahaya karena masyarakat Indonesia memiliki sejarah panjang dengan isu diskriminasi terhadap etnis Tionghoa. Kerusuhan Mei 1998 yang menargetkan Tionghoa tidak muncul tiba-tiba, tetapi dipupuk oleh politik diskriminatif Orde Baru, pemisahan pemukiman, serta stigma sosial yang melekat pada komunitas Tionghoa (Br Ginting & Ekwandari, 2019). Luka itu masih membekas, dan provokasi hari ini berpotensi membuka kembali trauma lama.

Pengalaman masa lalu juga membuktikan bahwa provokasi dapat menjelma menjadi tragedi besar. Kerusuhan Mei 1998 di Tanah Abang memicu penjarahan, pembakaran, dan kekerasan seksual yang masif terhadap etnis Tionghoa. Propaganda saat itu dimainkan secara sistematis, membuat masyarakat mudah terbakar amarahnya (Husaniah dkk., 2019). Sayangnya, pola itu kini seolah terulang dalam bentuk digital di media sosial.

Pada titik ini terlihat benang merah antara masa lalu dan masa kini. Jika masyarakat tetap mudah terprovokasi, maka demonstrasi yang seharusnya menjadi alat demokrasi justru bergeser menjadi panggung kriminalitas. Provokasi yang membidik etnis tertentu bukan hanya ancaman bagi targetnya, tetapi juga ancaman bagi persatuan bangsa.

Oleh karena itu, generasi saat ini harus belajar dari sejarah. Demonstrasi memang hak rakyat, tetapi tidak boleh dibajak oleh kriminalitas. Demo harus bersih dari ujaran kebencian, provokasi, maupun penjarahan. Sebab, perjuangan sejati bukan tentang menyerang etnis tertentu, melainkan tentang menyuarakan keadilan bagi semua.

Pada akhirnya, satu-satunya cara agar perjuangan tidak kehilangan arah adalah dengan menjaganya tetap bermartabat. Demonstrasi dilakukan bukan untuk memecah belah, melainkan untuk menuntut keadilan. Maka, provokasi etnis tidak boleh dibiarkan menodai aspirasi. Keadilan yang diperjuangkan tidak mengenal etnis, warna kulit, atau latar belakang, karena semua adalah bagian dari bangsa Indonesia. Sejarah pahit tahun 1998 sudah menjadi pelajaran jangan sampai sejarah kelam itu terulang kembali.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

  1. Br Ginting, S. O., M., & Ekwandari, Y. S. (2019). Etnis Tionghoa pada peristiwa kerusuhan Mei 1998 di Jakarta. Jurnal Pesagi, 7(3), 1–13. Universitas Lampung. https://jurnal.fkip.unila.ac.id/index.php/PES/article/view/19728
  2. Husaniah, M., dkk. (2019). Penelitian artikel ilmiah kasus kerusuhan etnis Tionghoa Mei 1998 di Indonesia. Jurnal Pendidikan Karakter Unggul, 6(2), 1–11. Universitas Esa Unggul. https://karakter.esaunggul.ac.id/index.php/pku/article/view/692
  3. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana [KUHP], Pasal 160, 362, 406.
  4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, Pasal 28 ayat (2).
  5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis.
  6. Zulkarnain, Z. (2020). Ujaran kebencian di masyarakat dalam kajian teologi. Studia Sosia Religia, 3(2), 171–190. UIN Sumatera Utara. https://jurnal.uinsu.ac.id/index.php/ssr/article/view/7672

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri