Penulis: Aisyah Maulani (2351132)
sumber: chatgpt
Isu mengenai besaran gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) kembali menjadi sorotan publik setelah viral pernyataan bahwa setiap legislator menerima Rp3 juta per hari atau setara lebih dari Rp90 juta per bulan. Narasi tersebut segera memicu reaksi keras masyarakat yang menilai wakil rakyat semakin jauh dari realitas sosial-ekonomi konstituennya. Meskipun pimpinan DPR mengklarifikasi bahwa gaji pokok anggota legislatif tetap berada di kisaran Rp6,5-7 juta per bulan, fakta menunjukkan adanya penyesuaian signifikan pada komponen tunjangan yang membuat total penerimaan anggota dewan meningkat secara substansial.
Keterangan resmi menyebut bahwa kenaikan bukan terletak pada gaji pokok, melainkan pada tunjangan-tunjangan tertentu, antara lain tunjangan beras yang kini mencapai Rp12 juta per bulan, tunjangan bensin sekitar Rp7 juta per bulan, serta tunjangan perumahan sebesar Rp50 juta sebagai pengganti fasilitas rumah jabatan. Dengan skema ini, seorang anggota DPR tidak lagi mendapatkan rumah dinas, melainkan memperoleh kompensasi dalam bentuk uang tunjangan perumahan. Konsekuensinya, take home pay seorang legislator kini dapat berkisar Rp69-70 juta per bulan, bahkan berpotensi lebih tinggi dengan tambahan fasilitas lain yang melekat. Kondisi ini menimbulkan perdebatan tajam: apakah tepat menyebutnya “tidak ada kenaikan gaji”, ketika kenyataannya jumlah penerimaan bersih meningkat signifikan?
Di tengah ketidakpastian ekonomi dan tingginya biaya hidup yang menekan masyarakat, kabar mengenai besarnya tunjangan anggota DPR terasa paradoksal. Pengamat politik Ray Rangkuti menilai fenomena ini sebagai bukti menipisnya empati wakil rakyat terhadap penderitaan konstituen. Kritik publik bukan sekadar menyasar angka rupiah, melainkan juga simbol ketidaksetaraan sosial yang kian lebar antara legislatif dan rakyat yang diwakilinya. Hal ini semakin sensitif karena kompensasi jumbo tersebut bersumber dari pajak masyarakat yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan publik yang lebih mendesak.
Dari perspektif hukum tata negara, remunerasi anggota legislatif memang memiliki dasar regulasi yang jelas. Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000, serta ketentuan internal DPR, mengatur detail hak-hak keuangan anggota dewan. Kontan (2025) bahkan merinci gaji pokok anggota DPR sebagai berikut: Ketua DPR sebesar Rp5.040.000, Wakil Ketua DPR sebesar Rp4.620.000, dan anggota DPR sebesar Rp4.200.000. Angka tersebut sebenarnya relatif kecil dibandingkan total penerimaan, yang justru membengkak karena akumulasi tunjangan. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa diskursus publik lebih terletak pada proporsi dan keadilan distribusi tunjangan, bukan semata pada gaji pokok.
Namun, keberadaan dasar hukum formal tidak serta-merta menyelesaikan problem etika keadilan fiskal. Dalam kerangka teori keadilan distributif ala John Rawls, suatu kebijakan dianggap adil hanya jika memberi manfaat bagi kelompok masyarakat yang paling lemah. Apabila gaji dan tunjangan wakil rakyat jauh melampaui standar hidup masyarakat kebanyakan, maka kebijakan tersebut berpotensi menyalahi prinsip keadilan substantif. Apalagi, penghapusan rumah dinas yang diganti dengan tunjangan perumahan justru berpotensi memperbesar beban APBN dalam jangka panjang, alih-alih menciptakan efisiensi fiskal.
Fenomena ini membuka ruang kritik terhadap adanya potensi moral hazard dalam kebijakan remunerasi legislatif. Alih-alih menjadi instrumen peningkatan kinerja, tunjangan besar justru berisiko dipersepsikan sebagai “hadiah politik” yang mencederai akuntabilitas publik. Jika dibiarkan tanpa evaluasi, skema ini dapat menjadi preseden bagi lembaga legislatif lain, seperti DPRD daerah, untuk menuntut perlakuan serupa, sehingga membebani fiskal negara lebih jauh.
Dalam kerangka akuntabilitas publik, DPR tidak cukup hanya berargumentasi bahwa “gaji pokok tidak naik”. Transparansi penuh mengenai seluruh komponen penghasilan, dasar hukum, besaran pajak, dan justifikasi kebijakan menjadi kebutuhan mendesak agar legitimasi politik tetap terjaga. Alternatif model remunerasi berbasis kinerja misalnya dikaitkan dengan jumlah undang-undang yang dihasilkan atau kualitas fungsi pengawasan akan lebih sesuai dengan prinsip proporsionalitas serta mengembalikan kepercayaan publik.
Pada akhirnya, polemik gaji DPR bukan sekadar perkara angka, tetapi juga persoalan legitimasi moral dan hukum. Regulasi memang memberikan dasar bagi pemberian hak keuangan kepada wakil rakyat, namun legitimasi sosial hanya dapat dibangun melalui empati, transparansi, dan keberpihakan pada kepentingan publik. Tanpa keseimbangan tersebut, kebijakan remunerasi justru berpotensi memperkuat stigma bahwa legislatif lebih sibuk mengurus kesejahteraan dirinya ketimbang memperjuangkan kesejahteraan rakyat yang diwakilinya.
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Muliawati A., (19 Agustus 2025), Pimpinan DPR Tegaskan Gaji Anggota Dewan Tetap: Cuma Tunjangan yang Naik, Detik News. https://news.detik.com/berita/d-8068780/pimpinan-dpr-tegaskan-gaji-anggota-dewan-tetap-cuma-tunjangan-yang-naik
- Priyatmoko H, (20 Agustus 2025), Isu Gaji DPR Rp 3 Juta per Hari, Pengamat: Bukti Jauhnya Empati Wakil Rakyat. Prokalteng.co Jawa Pos Group. https://prokalteng.jawapos.com/nasional/20/08/2025/isu-gaji-dpr-rp-3-juta-per-hari-pengamat-bukti-jauhnya-empati-wakil-rakyat/
- Dirgantara A. & Belarminus L, (20 Agustus 2025). Anggota DPR Dulu Terima Gaji Rp 58 Juta Per Bulan, Kini Rp 69 Juta, Berterima Kasih ke Menkeu, Kompas.com. https://nasional.kompas.com/read/2025/08/20/05123881/anggota-dpr-dulu-terima-gaji-rp-58-juta-per-bulan-kini-rp-69-juta-berterima
- Hamel J. P. (01 Oktober 2025), Ini Rincian Gaji & Tunjangan Anggota DPR RI 2024-2029: Negara Total Sediakan Rp 31 Miliar Per Bulan, Tribunjabar.id. https://jabar.tribunnews.com/news/1143474/ramai-gaji-anggota-dpr-rp-3-jutahari-ini-rincian-gaji-dan-tunjangan-anggota-dpr-ri
- Wikanto A. (18 Agustus 2025), Gaji DPR RI 2025: Benarkah Rp3 Juta per Hari? Berikut Rincian Gaji DPR Sesuai Aturan, Kontan.co.id. https://nasional.kontan.co.id/news/gaji-dpr-ri-2025-benarkah-rp3-juta-per-hari-berikut-rincian-gaji-dpr-sesuai-aturan