Ketika Cinta Butuh Subsidi

Penulis: Emiliya Febriyani, S.H., M.H.

Bayangkan sebuah negara yang tidak hanya menghargai cinta sebagai urusan pribadi, melainkan sebagai investasi masa depan bangsa. Itulah yang kini dilakukan Korea Selatan. Pemerintah di sana meluncurkan beragam kebijakan unik untuk mengatasi krisis demografi, mulai dari subsidi kencan, biaya pertunangan, hingga insentif besar bagi pasangan yang menikah.

A person and person holding a sign AI-generated content may be incorrect.

Sumber: ChatGPT

Salah satu yang paling menarik perhatian datang dari Distrik Saha di Kota Busan. Distrik ini menawarkan insentif hingga 20 juta won atau setara hampir Rp200 juta bagi pasangan yang menikah setelah mengikuti program pencocokan (matchmaking) lokal. Jika, benar demikian betapa indahnya jika cinta bukan hanya urusan dua insan, melainkan juga kepentingan negara yang dijaga dan dipelihara. Namun faktanya, program ini bersifat lokal, terbatas, dan penuh syarat yaitu hanya berlaku di wilayah tertentu, melalui skema khusus, dan belum banyak pasangan yang menerima pembayaran penuh.

Kebijakan ini muncul tentu bukan tanpa alasan. Korea Selatan sedang menghadapi krisis demografi yang serius. Angka kelahiran mereka adalah yang terendah di dunia, sementara populasi menua dengan cepat. Menurut Total Fertility Rate (TFR) Korea pada 2024 hanya 0,75 anak per perempuan, yaitu sedikit naik dari 0,72 tahun 2023. Jumlah kelahiran 2024 sekitar 238 ribu bayi, naik 8.300 dari tahun sebelumnya.

Namun angka itu tetap jauh di bawah ambang batas 2,1 anak per perempuan yang dibutuhkan untuk menjaga populasi tetap stabil. Pemerintah Korea Selatan sadar bahwa tanpa generasi baru, ekonomi akan lumpuh, tenaga kerja menyusut, dan beban sosial meningkat. Maka, cinta difasilitasi bukan semata demi romantisme, melainkan demi kelangsungan bangsa.

Bandingkan dengan situasi di Indonesia. Kita memang tidak sedang atau belum menghadapi krisis demografi yang sama, tetapi anak-anak muda kita justru semakin enggan menikah. Bukan karena tidak ingin jatuh cinta atau membangun rumah tangga, melainkan karena ketakutan menghadapi realitas hidup. Pernikahan dipandang bukan lagi awal kebahagiaan, tetapi awal beban yang berat.

Ketakutan Anak Muda

Ada beberapa faktor yang membuat anak muda di Indonesia ragu bahkan takut melangkah ke jenjang pernikahan. Pertama, biaya hidup yang kian melambung. Harga rumah semakin tak terjangkau, bahkan untuk generasi pekerja dengan gaji tetap. Kedua, sulitnya mencari pekerjaan yang layak. Data BPS menunjukkan tingkat pengangguran terbuka per Agustus 2024 masih sekitar 5,3 persen, dengan mayoritas pengangguran berasal dari kelompok usia muda. Ketiga, ketidakpastian masa depan. Dengan kondisi ekonomi global yang goyah, ditambah mahalnya biaya pendidikan dan kesehatan, membangun keluarga dianggap sebagai risiko besar.

A person and person sitting at a table with their arms crossed AI-generated content may be incorrect.

Sumber: ChatGPT

Fenomena ini terlihat dari semakin mundurnya usia menikah. Rata-rata usia perkawinan pertama pemuda Indonesia pada 2024 adalah 22,77 tahun untuk laki-laki dan 20,41 tahun untuk perempuan. Hampir 50 persen perempuan menikah pertama kali di usia 19–24 tahun, sementara sekitar 25 persen menikah di usia 16–18 tahun. Padahal, UU No. 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan telah menegaskan usia minimal menikah bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun. Namun, celah hukum lewat dispensasi kawin (Perma No. 5 Tahun 2019 tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin) membuat praktik pernikahan dini tetap marak, dengan risiko besar bagi kesehatan, pendidikan, dan masa depan keluarga.

Selain itu, kondisi ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa tingkat perceraian di Indonesia tergolong tinggi. Pada 2024, tercatat 399.921 kasus perceraian, hanya sedikit turun dari tahun 2023 yang mencapai lebih dari 408 ribu kasus. Angka ini termasuk yang tertinggi di Asia, dan mayoritas perceraian justru terjadi pada pasangan usia muda. Penelitian di berbagai Pengadilan Agama juga menguatkan bahwa faktor ekonomi menjadi penyebab dominan perceraian, dari ketidakmampuan suami memberi nafkah, pengangguran, hingga tekanan utang rumah tangga. Pada kahirnya cinta tidak lagi hanya diuji oleh kesetiaan dan kasih sayang, tetapi juga oleh tekanan ekonomi yang nyata.

Belajar dari Korea Selatan

Di sinilah letak perbedaan mendasar dengan Korea Selatan. Negeri Ginseng melihat pernikahan sebagai aset negara yang harus dilindungi. Indonesia, sebaliknya, masih menyerahkan sepenuhnya urusan rumah tangga pada individu. Negara hadir hanya di level formalitas pencatatan nikah, tetapi absen dalam memastikan keberlangsungan ekonomi dan sosial keluarga muda. Padahal, konstitusi jelas menyebut: “Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah” (Pasal 28B UUD 1945). Hak ini seharusnya tidak berhenti pada legalitas formal, melainkan dijamin melalui kebijakan yang mendukung keberlangsungan rumah tangga. Keluarga adalah unit terkecil dari bangsa. Jika keluarga rapuh, bangsa pun rentan.

Tentu, konteks Indonesia berbeda. Kita tidak bisa begitu saja menyalin kebijakan Korea Selatan dengan memberikan insentif tunai bagi yang menikah. Namun, ada pelajaran penting yang bisa kita ambi bahwa cinta dan rumah tangga perlu dukungan negara. Bentuk dukungan itu tidak harus berupa subsisi uang tunai, melainkan kebijakan yang memudahkan anak muda membangun keluarga.

Pertama, kebijakan perumahan terjangkau. Program rumah subsidi memang ada, tetapi realisasinya masih jauh dari kebutuhan. Kedua, jaminan pekerjaan layak. Tanpa pekerjaan yang stabil, menikah terasa seperti berjudi dengan masa depan. Ketiga, subsidi pendidikan anak. Orang tua muda kerap cemas soal biaya sekolah, padahal pendidikan adalah investasi utama bangsa. Keempat, layanan kesehatan keluarga yang inklusif dan terjangkau, sehingga anak-anak bisa tumbuh dengan baik tanpa menguras tabungan orang tua. Artinya, subsidi perlu dibarengi kebijakan struktural mulai dari: perumahan terjangkau, pekerjaan layak, sistem kerja yang ramah keluarga, subsidi pendidikan anak, dan layanan kesehatan keluarga yang inklusif. Cinta memang urusan hati, tetapi negara punya peran untuk memastikan cinta itu tidak kandas di tengah jalan karena tekanan hidup.

A pair of hands making a heart shape with a bright light AI-generated content may be incorrect.

Sumber: ChatGPT

Indonesia tidak perlu menyalin kebijakan subsidi cinta Korea Selatan, tetapi perlu menciptakan ekosistem kebijakan yang membuat anak muda yakin bahwa membangun keluarga bukanlah jalan menuju penderitaan.

Kita sering berkoar bahwa pemuda adalah masa depan bangsa. Namun bagaimana mungkin mereka bisa menjadi masa depan jika membangun keluarga saja terasa seperti berjudi dengan nasib? Kita juga bangga dengan potensi bonus demografi. Tetapi bonus itu bisa menjadi bencana jika anak muda kehilangan kepercayaan pada institusi keluarga.

Cinta memang tidak bisa dibeli dengan uang. Tetapi cinta bisa mati perlahan jika dikepung rasa takut akan masa depan. Itulah sebabnya negara perlu hadir, bukan untuk membeli cinta, tetapi untuk melindungi dan memelihara ruang di mana cinta bisa tumbuh. Jika Korea Selatan bisa melihat cinta sebagai investasi bangsa, mengapa Indonesia tidak?

Cinta adalah fondasi bangsa. Jika kita ingin masa depan yang lebih baik, jangan biarkan generasi muda kita menunda cinta karena terjebak dalam ketidakpastian dan ketakutan pada masa depan. Sebab, pada akhirnya, cinta tidak hanya persoalan dua orang. Cinta adalah tentang masa depan sebuah bangsa. Dan ya, terkadang, cinta memang butuh subsidi.

Editor: Ambarwulan, S.T.

Referensi

  1. South China Morning Post. “South Korea Offers US$29,000 Cash for Marriage to Tackle Birth-Rate Crisis.” SCMP, March 2024.
    https://www.scmp.com/news/asia/east-asia/article/3311639/south-korea-offers-us29000-cash-marriage-tackle-birth-rate-crisis?utm_source=chatgpt.com
  2. VN Express. “South Korea Offers up to $14,600 to Newlyweds, Experts Question Long-Term Effectiveness.” VN Express International, April 2024.
    https://e.vnexpress.net/news/news/south-korea-offers-up-to-14-600-to-newlyweds-experts-question-long-term-effectiveness-4892054.html?utm_source=chatgpt.com
  3. Associated Press (AP). “South Korea’s Birthrate Rises Slightly to 0.75 in 2024, First Increase in 9 Years.” AP News, February 2025.
    https://apnews.com/article/dde1e536cd8b7a65cf30fe3f91983162?utm_source=chatgpt.com
  4. CNBC Indonesia. “Pengangguran RI 7,86 Juta, TPT Naik Jadi 5,3%.” CNBC Indonesia, November 4, 2024.
    https://www.cnbcindonesia.com/news/20241104142022-4-553530/pengangguran-ri-786-juta-tpt-naik-jadi-53?utm_source=chatgpt.com
  5. GoodStats. “Hampir 50% Perempuan Indonesia Menikah di Usia 19–24 Tahun.” GoodStats Indonesia, July 2024.
    https://data.goodstats.id/statistic/hampir-50-perempuan-indonesia-menikah-di-usia-19-24-tahun-3X1H7?utm_source=chatgpt.com
  6. GoodStats. “Kasus Perceraian di Indonesia Capai 399.921 pada 2024.” GoodStats Indonesia, 2024. https://data.goodstats.id/statistic/simak-faktor-utama-penyebab-perceraian-di-indonesia-2024-OJc0n

Baloi-Sei Ladi, Jl. Gajah Mada, Tiban Indah, Kec. Sekupang, Kota Batam, Kepulauan Riau 29426
(0778) 7437111
Temukan kami

Telusuri