Penulis: Rahmi Ayunda, S.H., M.H.
Bayangkan rutinitas sederhana, anak bangun, sarapan, lalu membuka gawai untuk belajar atau menonton. Di sela video atau gim, muncul parade camilan biskuit, minuman manis, keripik kentang, mi instan dengan visual cerah warna-warni. “Cuma lihat, kok,” pikir kita. Padahal, dari kebiasaan kecil itulah selera dan pilihan makan anak perlahan dibentuk. Jika ruang digital adalah taman bermain anak, maka pagar perlindungan hukumnya perlu jelas sejak awal.
Sumber: Getty Images
Data nasional dari Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 menunjukkan gizi anak masih memprihatinkan, stunting dan wasting belum tuntas, sementara 14,8% remaja usia 13–18 tahun sudah mengalami obesitas. Lebih dari itu, 1 dari 2 balita (sekitar 10,7 juta) berada pada kemiskinan pangan sedang/berat artinya mereka tak mendapatkan keberagaman makanan minimum untuk tumbuh optimal (Kemenkes, 2024).
Di sisi lain, ultra-processed food (UPF) produk pangan hasil rekayasa industri yang tinggi gula, garam, lemak, perisa, dan pengawet semakin mudah diakses. Contohnya: mi instan, permen, makanan ringan gurih, biskuit, minuman manis, dan sejenisnya. Riset menunjukkan konsumsi UPF berhubungan dengan meningkatnya risiko diabetes tipe 2 dan penyakit kardiovaskular, dan di Indonesia konsumsi UPF diperkirakan mencapai sekitar 45% dari total asupan kalori pada 2020, dengan konsumsi lebih tinggi pada anak dan remaja. Konsekuensi finansialnya juga nyata, BPJS Kesehatan melaporkan biaya untuk penyakit terkait obesitas seperti hipertensi, diabetes, stroke, gagal ginjal, jantung menembus Rp174,1 triliun dalam periode 2014-2023.
Mengapa promosi UPF terasa begitu dekat? Karena kita hidup di ruang digital yang sangat ramai. APJII 2024 mencatat 221,6 juta pengguna internet (sekitar 79,5% populasi), dan 9,2% di antaranya anak di bawah 12 tahun. Artinya, jutaan anak menghabiskan waktu di jalan raya informasi, di mana promosi menyatu dengan hiburan. Iklan tak selalu tampil sebagai iklan; bisa berupa tantangan lucu, ulasan jujur, atau karakter favorit yang menyarankan camilan manis. Di sinilah aspek hukum menjadi krusial, anak belum memiliki kapasitas kognitif untuk membedakan mana hiburan dan mana ajakan membeli, sehingga mereka berhak atas proteksi khusus dari praktik promosi yang mengecoh.
Lalu, apa hal realistis yang dapat kita lakukan tanpa menyalahkan anak atau membuat orang tua merasa bekerja sendirian? Pertama, mulai dari yang dekat. Di rumah, sediakan jalan pintas sehat seperti buah potong siap santap, air putih, roti isi sederhana. Kedua, atur gawai agar tidak autoplay dan dampingi anak saat berselancar di dunia maya. Ketiga, ajak anak masak ringan seperti edamame rebus, sate buah saus yogurt, atau pisang panggang keju supaya pengalaman menyenangkan mereka tidak selalu terkait camilan kemasan. Hal-hal kecil ini memberi anak pilihan yang mudah dan menyenangkan. Keempat, kepada industri dan kreator konten, mari jaga kepercayaan publik dengan penandaan promosi yang jelas dan tidak menyamarkan iklan sebagai obrolan biasa. Menghindari penggunaan karakter yang sangat digemari anak untuk mendorong produk tinggi gula/garam bukan berarti anti-kreativitas; justru ini kesempatan membuat konten sehat yang tetap menarik.
Negara pun punya mandat moral dan hukum. Indonesia telah meratifikasi Convention on the Rights of the Child (CRC) melalui Keppres No. 36/1990, yang menegaskan hak anak atas kesehatan (Pasal 24), perlindungan dari eksploitasi komersial (Pasal 32), dan akses pada informasi yang aman (Pasal 17). Sejalan dengan UU Perlindungan Anak, UU Pangan, dan UU Perlindungan Konsumen, prinsip sederhananya adalah anak berhak atas ruang tumbuh yang adil. Itu berarti promosi yang menyasar mereka mesti jujur, mudah dikenali, dan tidak menipu. Orang tua membutuhkan alat yang memudahkan, seperti pengaturan tontonan yang ramah anak dan kanal pelaporan yang responsif. Kebijakan publik tidak perlu rumit untuk berpihak, cukup memastikan pagar yang jelas agar arus promosi tidak menabrak kepentingan terbaik anak.
Sebagian mungkin bertanya, “Bukankah keputusan ada di keluarga?” Ya, keluarga adalah garda terdepan. Namun permainan saat ini tidak seimbang. Anak menghadapi banjir pesan yang dirancang agar sulit ditolak. Tugas kita, keluarga, sekolah, komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah adalah mengembalikan keseimbangan itu. Membuat pilihan sehat lebih mudah, murah, dan menyenangkan. Ini bukan sikap anti-camilan atau anti-bisnis ini ajakan untuk berbisnis dengan nurani dan berpromosi dengan tanggung jawab.
Anak-anak kita tumbuh di dunia yang berbeda dengan masa kecil kita. Lebih cepat, lebih visual, lebih personal. Kita tidak bisa memutar balik waktu, tetapi kita bisa menata arah. Dengan dukungan keluarga, sekolah, komunitas, pelaku usaha, dan pemerintah, ruang digital bisa menjadi tempat yang aman dan bersahabat bagi anak, bukan pasar tanpa pagar. Saatnya kita memilih untuk berpihak pada tawa yang sehat, pada pilihan yang jujur, dan pada masa depan yang lebih cerah untuk anak-anak kita.
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia. (2024). APJII: Jumlah pengguna internet Indonesia tembus 221 juta orang. https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
- Diba, F. (2025). Makanan ultra-proses, inovasi dalam industri makanan modern. Ibnu Sina: Jurnal Kedokteran dan Kesehatan – Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sumatera Utara, 24(1), 191–201.
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2024). Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023. https://www.badankebijakan.kemkes.go.id/hasil-ski-2023/
- Monteiro, C. A., Cannon, G., Lawrence, M., Costa-Louzada, M. L., & Machado, P. (2019). Ultra-processed foods, diet quality, and health using the NOVA classification system. FAO. https://www.fao.org/3/ca5644en/ca5644en.pdf
- United Nations. (1989). Convention on the Rights of the Child (CRC). https://www.ohchr.org/en/instruments-mechanisms/instruments/convention-rights-child
- UNICEF. (2022). Analisis lanskap kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia https://www.unicef.org/indonesia/media/15581/file/AnalisisLanskapKelebihanBeratBadandanObesitasdiIndonesia.pdf