Penulis: Getrudis Pratama Putra (2351007)

Sumber: Dokumentasi Pribadi
Dalam negara hukum (rechtsstaat), penegak hukum seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga keadilan, melindungi hak asasi manusia, dan menegakkan supremasi hukum. Namun, realita yang terjadi di jalanan Jakarta pada malam unjuk rasa baru-baru ini menunjukkan gambaran yang ironis dan menyedihkan: seorang pengemudi ojek online kehilangan nyawanya setelah diduga dilindas kendaraan aparat saat terjadi kericuhan. Peristiwa ini menampar nurani publik dan menimbulkan pertanyaan besar: di mana posisi hukum ketika aparat sendiri yang menjadi pelanggarnya?
Tragedi ini menambah daftar panjang kasus kekerasan berlebihan (excessive use of force) oleh aparat, terutama dalam menangani massa aksi. Padahal, Indonesia telah meratifikasi berbagai instrumen HAM internasional, seperti Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), yang menjamin hak atas hidup dan hak atas kebebasan berkumpul secara damai. Dalam konteks nasional, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum secara eksplisit melindungi hak warga negara untuk berdemo, termasuk bagi kelompok pekerja informal seperti ojek online.
Tindakan aparat yang membahayakan nyawa warga sipil, apalagi sampai menyebabkan kematian, tidak hanya melanggar prinsip hukum pidana dan hukum HAM, tapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap institusi penegak hukum. Ketika aparat bertindak di luar batas kewenangannya, maka negara telah gagal menjalankan kewajibannya untuk menghormati, melindungi, dan memenuhi hak asasi warganya.
Fenomena ini tak bisa dilepaskan dari kultur impunitas yang masih kuat di tubuh institusi penegak hukum di Indonesia. Dalam banyak kasus serupa sebelumnya, investigasi berlangsung lambat, tidak transparan, dan minim akuntabilitas. Akibatnya, korban kerap tidak mendapatkan keadilan, sementara pelaku luput dari jerat hukum. Hal ini bertolak belakang dengan asas equality before the law, yang semestinya menempatkan semua orang termasuk aparat sejajar di mata hukum.
Sudah saatnya dilakukan reformasi menyeluruh terhadap mekanisme pengawasan dan pertanggungjawaban aparat. Komisi independen seperti Komnas HAM, Ombudsman, dan LPSK harus diberikan peran yang lebih kuat dalam proses investigasi pelanggaran oleh aparat, bukan sekadar memberikan rekomendasi yang mudah diabaikan. Selain itu, pendidikan hukum dan HAM bagi aparat kepolisian juga harus ditingkatkan secara serius dan berkelanjutan.
Tragedi yang menimpa pengemudi ojek online ini bukan hanya soal satu nyawa yang hilang, tapi juga cerminan dari sistem hukum yang pincang. Bila aparat penegak hukum tidak bisa dipercaya, maka krisis legitimasi negara tak terelakkan. Kita butuh keberanian kolektif untuk menuntut pertanggungjawaban dan mendorong perubahan sistemik agar hukum kembali menjadi panglima.
Dalam menghadapi situasi ini, masyarakat sipil harus terus bersuara dan menuntut keadilan. Media, akademisi, dan organisasi masyarakat perlu mengambil peran aktif dalam mendorong penyelidikan independen dan pengawalan kasus ini hingga tuntas. Hanya dengan begitu, kita bisa memastikan bahwa tidak ada lagi warga sipil yang harus kehilangan nyawa karena arogansi kekuasaan bersenjata.
*Corresponding author: getrudispratama@gmail.com
Editor: Ambarwulan, S.T.
Referensi
- Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum
- Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005
- Komnas HAM. (2023). Laporan Tahunan Pelanggaran HAM oleh Aparat Negara
- Amnesty International Indonesia. (2024). Policing Protest in Indonesia: Patterns of Abuse


